Berbeda dengan
sahur-sahur sebelumnya, sahur pada tahun ini saya lakukan bersama anak-anak
kolong langit, sebutan saya untuk anak-anak kolong jembatan Kampung Melayu,
Jakarta Timur. Mereka adalah
anak-anak pemulung yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pernah suatu hari saya
memergoki mereka sedang memakan anggur-anggur busuk pemberian seseorang.
“Jangan dibuang, ini rezeki dari Allah” begitu kata
mereka
Maka untuk memastikan bahwa apa yang mereka makan di hari
pertama puasa layak untuk dikonsumsi, saya bersama teman-teman satu kampus
mengadakan bakti sosial di sana. Nasi-nasi bungkus pun dibagikan. Akhirnya,
hanya tersisa satu nasi di tanganku. “Itu bagianmu.”kata temanku
Tapi baru saja ingin menikmati, kulihat di sudut jembatan
seorang bocah memegangi perutnya, seperti menahan lapar yang amat sangat. Ia
tidak berani mendekat karena bukan warga di sana. Ia hanya menumpang tidur.
Spontan kuberi nasiku. Laparku tidak berarti apa-apa bila dibanding bocah ini,
jelas dia lebih berhak. Jauh dari harapku, bocah itu membalas nasi bungkus itu
dengan sesuatu yang lebih berharga. Dia berdoa untukku, teman-temanku, bahkan
keluargaku. Mendoakan kesehatan, karier, hingga jodoh.
Dengan peristiwa itu, saya semakin mengerti apa itu puasa
sebenarnya. Saya mungkin hanya merasakan kelaparan di siang hari, sementara
mereka berhari-hari bahkan mungkin lebih. Dalam puasa, kita sebenarnya melanjutkan pesan Nabi untuk saling berbagi
dan merasakan, menyelami sedikit
penderitaan mereka, dan mensyukuri setiap hal kecil hingga
Allah melipatgandakan kerberkahan di setiap perjalanan kehidupan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar