Kekerasan
kerap mewarnai sejarah Indonesia, seperti peristiwa Tragedi Mei’98 ketika
banyak terjadi tindakan anarkis seperti penjarahan dan pembakaran toko-toko di
berbagai wilayah Indonesia, khususnya wilayah Jakarta. Kekerasan seksual juga
dialami oleh perempuan keturunan etnis Tionghoa pada saat itu, hingga 16 tahun
setelah peristiwa tersebut belum ada tindakan tegas pemerintah untuk mengungkap
kebenaran.
Satu hal
yang tidak diketahui oleh banyak orang adalah terjadinya kekerasan seksual yang
menimpa perempuan etnis Tionghoa ketika penjarahan berlangsung. Aksi kekerasan
seksual ini juga terorganisir dengan adanya gang rape, yaitu sekelompok orang
yang melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan Tionghoa. Seperti yang
dituturkan seorang korban dalam laporan Komnas Perempuan bahwa ada sekelompok
laki-laki yang datang mengancam akan memperkosanya dan mereka tidak berhenti
menyakitinya sampai akhirnya si perempuan berteriak dengan bahasa Bugis dan
para pelaku diyakinkan bahwa si perempuan bukanlah dari etnis Tionghoa. Menurut
laporan TGPF ada 85 korban kekerasan seksual: pemerkosaan sebanyak 52 orang,
pemerkosaan dengan penganiayaan sebanyak 14 orang, penganiayaan seksual
sebanyak 10 orang, dan pelecehan seksual sebanyak 9 orang. Data-data yang telah
ditemukan oleh para relawan kemanusiaan itu merupakan sebuah laporan korban
kekerasan tanpa ada tindak lanjut di pengadilan. Di luar dari data-data yang
saya baca itu, saya pun berpikir, mengapa etnis Tionghoa?
Indonesia
adalah bangsa yang memiliki beragam suku dan ras. Etnis Tionghoa masuk
Indonesia melalui perdagangan yang kemudian melebur menjadi bagian dari
masyarakat Indonesia. Bercermin dari kekerasan yang kerap terjadi, perempuan
malah menjadi korban dan dilecehkan. Kita seharusnya bisa belajar untuk tidak
saling menghajar, tapi belajar untuk saling sejajar. Seperti kata pepatah,
“berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”. Tidak ada satu pun golongan yang
paling indah di antara suku, agama, bahasa, maupun ras. Semuanya menjadi paling
indah karena adanya kehidupan yang harmonis di tengah perbedaan. Inilah arti
toleransi sesunggunya. Dalam perenungan di masa muda ini, saya belajar
merendahkan hati untuk mengakui bahwa Tuhan tidak salah ketika menciptakan
banyak perbedaan di dunia ini. Perbedaan membuat kita masing-masing menjadi
individu yang berharga dan istimewa.
Sayangnya,
potensi tersebut kerap menyusut kala provokasi acapkali disulut oleh
oknum-oknum yang tidak tahu bagaimana cara menjaga mulut. Lantas, langkah
seperti apa yang terhitung pantas agar karakter masyarakat Indonesia yang mudah
terprovokasi bisadipangkas dan potensi diri masyarakat akan toleransi
terhadap sesama bisa tetap kental sebagai identitas?
Menurut saya,
implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika pada
generasi penerus
bangsa melalui pendidikan adalah salah satu langkah
preventif yang
paling efektif. Pendidikan merupakan sektor yang paling
krusial dalam usaha
konservasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika yang sangat
fenomenal. Sebab,
dengan adanya implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal
Ika pada generasi
muda melalui pendidikan, kita telah mempersiapkan
generasi penerus
bangsa yang jauh lebih berkompeten untuk terjun
dalam kehidupan
bernegara yang plural. Mereka pun diharapkan memiliki
imunitas yang lebih
tinggi dalam mengimplementasikan nilai-nilai Bhinneka
Tunggal Ika
sehingga tidak mudah goyah dengan adanya provokasi dari
oknum-oknum yang
ingin memecah belah bangsa.Selain itu,
implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika melalui
pendidikan juga
dapat membuka mata generasi penerus bangsa akan
betapa pentingya
arti nasionalisme dibanding egoisme kelompok yang
selama ini
dibungkus dalam kata “solidaritas”. Kata “solidaritas” selama
ini telah membius
sebagian masyarakat Indonesia untuk berbuat lebih
ketika sebuah
gesekan akibat perbedaan terjadi yang akhirnya berujung
pada konflik yang
bertajuk ”kalah jadi abu, menang jadi arang”. Beberapa
dari kita, selama
ini tidak sadar bahwa kita telah diadu domba oleh egoisme
kita sendiri. Kita
lebih gemar mengibarkan bendera lambang kelompok
kita masing-masing
dibanding bendera negara kita tercinta, yakni merahputih.
Inilah yang selama
ini menjadi penyakit endemik dari kondisi psikis
masyarakat
Indonesia yang mudah terprovokasi dan cenderung “ikutikutan”.
Oleh karena itu,
kita butuh banyak tenaga segar dari generasi
penerus bangsa yang
memiliki jiwa kepemimpinan dengan semangat
Bhinneka Tunggal
Ika dan rasa cinta terhadap tanah air alias nasionalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar