Kamis, 28 Mei 2015

PEREMPUAN TIONGHOA DAN TRAGEDI MEI’98




Kekerasan kerap mewarnai sejarah Indonesia, seperti peristiwa Tragedi Mei’98 ketika banyak terjadi tindakan anarkis seperti penjarahan dan pembakaran toko-toko di berbagai wilayah Indonesia, khususnya wilayah Jakarta. Kekerasan seksual juga dialami oleh perempuan keturunan etnis Tionghoa pada saat itu, hingga 16 tahun setelah peristiwa tersebut belum ada tindakan tegas pemerintah untuk mengungkap kebenaran.
            Satu hal yang tidak diketahui oleh banyak orang adalah terjadinya kekerasan seksual yang menimpa perempuan etnis Tionghoa ketika penjarahan berlangsung. Aksi kekerasan seksual ini juga terorganisir dengan adanya gang rape, yaitu sekelompok orang yang melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan Tionghoa. Seperti yang dituturkan seorang korban dalam laporan Komnas Perempuan bahwa ada sekelompok laki-laki yang datang mengancam akan memperkosanya dan mereka tidak berhenti menyakitinya sampai akhirnya si perempuan berteriak dengan bahasa Bugis dan para pelaku diyakinkan bahwa si perempuan bukanlah dari etnis Tionghoa. Menurut laporan TGPF ada 85 korban kekerasan seksual: pemerkosaan sebanyak 52 orang, pemerkosaan dengan penganiayaan sebanyak 14 orang, penganiayaan seksual sebanyak 10 orang, dan pelecehan seksual sebanyak 9 orang. Data-data yang telah ditemukan oleh para relawan kemanusiaan itu merupakan sebuah laporan korban kekerasan tanpa ada tindak lanjut di pengadilan. Di luar dari data-data yang saya baca itu, saya pun berpikir, mengapa etnis Tionghoa?
            Indonesia adalah bangsa yang memiliki beragam suku dan ras. Etnis Tionghoa masuk Indonesia melalui perdagangan yang kemudian melebur menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Bercermin dari kekerasan yang kerap terjadi, perempuan malah menjadi korban dan dilecehkan. Kita seharusnya bisa belajar untuk tidak saling menghajar, tapi belajar untuk saling sejajar. Seperti kata pepatah, “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”. Tidak ada satu pun golongan yang paling indah di antara suku, agama, bahasa, maupun ras. Semuanya menjadi paling indah karena adanya kehidupan yang harmonis di tengah perbedaan. Inilah arti toleransi sesunggunya. Dalam perenungan di masa muda ini, saya belajar merendahkan hati untuk mengakui bahwa Tuhan tidak salah ketika menciptakan banyak perbedaan di dunia ini. Perbedaan membuat kita masing-masing menjadi individu yang berharga dan istimewa.
            Sayangnya, potensi tersebut kerap menyusut kala provokasi acapkali disulut oleh oknum-oknum yang tidak tahu bagaimana cara menjaga mulut. Lantas, langkah seperti apa yang terhitung pantas agar karakter masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi bisadipangkas dan potensi diri masyarakat akan toleransi terhadap sesama bisa tetap kental sebagai identitas? Menurut saya, implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika pada generasi penerus bangsa melalui pendidikan adalah salah satu langkah preventif yang paling efektif. Pendidikan merupakan sektor yang paling krusial dalam usaha konservasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika yang sangat fenomenal. Sebab, dengan adanya implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika pada generasi muda melalui pendidikan, kita telah mempersiapkan generasi penerus bangsa yang jauh lebih berkompeten untuk terjun dalam kehidupan bernegara yang plural. Mereka pun diharapkan memiliki imunitas yang lebih tinggi dalam mengimplementasikan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika sehingga tidak mudah goyah dengan adanya provokasi dari oknum-oknum yang ingin memecah belah bangsa.Selain itu, implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika melalui pendidikan juga dapat membuka mata generasi penerus bangsa akan betapa pentingya arti nasionalisme dibanding egoisme kelompok yang selama ini dibungkus dalam kata “solidaritas”. Kata “solidaritas” selama ini telah membius sebagian masyarakat Indonesia untuk berbuat lebih ketika sebuah gesekan akibat perbedaan terjadi yang akhirnya berujung pada konflik yang bertajuk ”kalah jadi abu, menang jadi arang”. Beberapa dari kita, selama ini tidak sadar bahwa kita telah diadu domba oleh egoisme kita sendiri. Kita lebih gemar mengibarkan bendera lambang kelompok kita masing-masing dibanding bendera negara kita tercinta, yakni merahputih. Inilah yang selama ini menjadi penyakit endemik dari kondisi psikis masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi dan cenderung “ikutikutan”. Oleh karena itu, kita butuh banyak tenaga segar dari generasi penerus bangsa yang memiliki jiwa kepemimpinan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan rasa cinta terhadap tanah air alias nasionalisme.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar