Kamis, 28 Mei 2015

CATATAN KEBANGSAAN: Tak Kemana-Mana


“Kau tak kenal bangsamu sendiri…” -Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa)
Saya selalu berpendapat: tidak boleh kita membenci sesuatu yang tidak kita pahami.
Saya terus bingung dengan orang-orang yang terang-terangan kepada saya mengaku pesimis terhadap Indonesia, mengaku skeptis, mengaku kehilangan harapan, bahkan membenci Indonesia.
Namun, setelah waktu cukup lama saya mengenalnya, ada beberapa hal yang saya pahami.
Saya mensyukuri kebangsaan ini karena saya mencintainya. Saya mulai paham bahwa cinta bukan mengenai apa yang terbaik dari yang ada dan tersedia, tapi apa yang kita rasa paling sesuai untuk diri kita, yang tetap membawa senyum di hati kita dalam keadaan apapun, kapanpun. Merah putih ini banyak kehebatannya, banyak juga bobroknya. Tapi itu hanya keadaan biasa saja yang tidak membuat kita lantas ingin berganti warna.
Saya yakin, saya tak sendirian. Walaupun mereka tidak (pernah) merumuskan dengan fasih apa arti “Indonesia” bagi mereka, tapi mereka menunjukkannya. Saya melihat Jihan dan Dimas yang berangkat ke Kalimantan untuk membantu pendidikan anak-anak Indonesia di sana. Saya melihat Andi yang berkaca-kaca matanya menyanyikan lagu Padamu Negeri. Dan saya masih melihat puluhan anak Indonesia yang masih memberi hormat kepada sang Merah Putih saat di kibarkan. Saya melihat di televisi, ada protes Aceh 1999. Ada juga protes Aceh 1932. Mereka menentang keputusan pemerintah Hindia-Belanda untuk menggunakan bahasa Aceh di sekolah bumiputera. Rakyat yang serta dalam pertemuan besar itu justru menghendaki bahasa Indonesia. Bukan karena di Kutaraja orang Aceh ingin mencampakkan bahasa Aceh. Tetapi karena empat tahun sebelumnya, mereka telah bersumpah untuk memaklumkan bahwa mereka ingin punya satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air.
Jika kita bisa belajar, mungkin sejak ini sebaiknya kita selalu bertanya: tentang Indonesia, apa sebenarnya yang hendak kita dan mereka dahulu pertahankan? Bukankah banyak sekali kepahitan dalam Indonesia? Tapi mengapa mereka, para pendahulu kita di awal abad ke-20 dengan perjuangan yang lebih berat daripada kita sekarang, dengan darah, raga dan doa terus memperjuangkan Indonesia?
Sadar atau tidak. Hati mereka, telah begitu dekat dengan tanah air. Tanah ini adalah ingatan dan harapan yang menyangkut tubuh: harum padi yang terkenang, rasa rempah yang membekas, deras arus yang tak bisa dilupakan, suara ayah yang memuji, lagu ibu yang sejuk, batuk kakek, dan cerita-cerita kanak yang mengendap dalam kesadaran. Juga harapan: rumah kelak yang akan dibangun, anak-anak yang akan dilahirkan dan dibesarkan, karier yang tercapai. Juga harapan akan melakukan sesuatu yang berarti bagi bangsa ini.
Mencintai sebuah tanah air  adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa taka da negeri lain, taka da bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja, dan terutama untuk mati. Ini yang seharusnya terjadi atau mungkin telah terjadi hanya saja tidak kita sadari, pada perasaan kita atas merah putih, atas Indonesia. Saat kita tidak memiliki perasaan cinta tersebut, banyak alasan kita untuk mendepak Indonesia dari hati dan pikiran kita. Tapi saat cinta itu ada, akan membuat kita tetap melihat keburukan yang terjadi, perasaan kecewa dan marah akan hal itu, hanya saja itu semua dirangkum oleh perasaan ingin memperbaiki keburukan tersebut menjadi hal yang lebih baik lagi dengan karya yang dapat kita buat. Tidak menyerah karena keadaan dan rasa percaya yang tetap menyelimuti diri kita untuk tetap bertahan dengan senang hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar