“Kau tak kenal
bangsamu sendiri…” -Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa)
Saya selalu
berpendapat: tidak boleh kita membenci sesuatu yang tidak kita pahami.
Saya terus
bingung dengan orang-orang yang terang-terangan kepada saya mengaku pesimis terhadap
Indonesia, mengaku skeptis, mengaku kehilangan harapan, bahkan membenci
Indonesia.
Namun, setelah
waktu cukup lama saya mengenalnya, ada beberapa hal yang saya pahami.
Saya mensyukuri kebangsaan ini karena
saya mencintainya. Saya mulai paham bahwa cinta bukan mengenai apa yang terbaik
dari yang ada dan tersedia, tapi apa yang kita rasa paling sesuai untuk diri
kita, yang tetap membawa senyum di hati kita dalam keadaan apapun, kapanpun. Merah
putih ini banyak kehebatannya, banyak juga bobroknya. Tapi itu hanya keadaan
biasa saja yang tidak membuat kita lantas ingin berganti warna.
Saya yakin, saya
tak sendirian. Walaupun mereka tidak (pernah) merumuskan dengan fasih apa arti
“Indonesia” bagi mereka, tapi mereka menunjukkannya. Saya melihat Jihan dan
Dimas yang berangkat ke Kalimantan untuk membantu pendidikan anak-anak
Indonesia di sana. Saya melihat Andi yang berkaca-kaca matanya menyanyikan lagu
Padamu Negeri. Dan saya masih melihat puluhan anak Indonesia yang masih memberi
hormat kepada sang Merah Putih saat di kibarkan. Saya melihat di televisi, ada protes Aceh 1999.
Ada juga protes Aceh 1932. Mereka menentang keputusan pemerintah Hindia-Belanda
untuk menggunakan bahasa Aceh di sekolah bumiputera. Rakyat yang serta dalam
pertemuan besar itu justru menghendaki bahasa Indonesia. Bukan karena di
Kutaraja orang Aceh ingin mencampakkan bahasa Aceh. Tetapi karena empat tahun
sebelumnya, mereka telah bersumpah untuk memaklumkan bahwa mereka ingin punya
satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air.
Jika kita bisa belajar, mungkin sejak ini
sebaiknya kita selalu bertanya: tentang Indonesia, apa sebenarnya yang hendak
kita dan mereka dahulu pertahankan? Bukankah banyak sekali kepahitan dalam
Indonesia? Tapi mengapa mereka, para pendahulu kita di awal abad ke-20 dengan
perjuangan yang lebih berat daripada kita sekarang, dengan darah, raga dan doa
terus memperjuangkan Indonesia?
Sadar atau
tidak. Hati mereka, telah begitu dekat dengan tanah air. Tanah ini adalah ingatan
dan harapan yang menyangkut tubuh: harum padi yang terkenang, rasa rempah yang
membekas, deras arus yang tak bisa dilupakan, suara ayah yang memuji, lagu ibu
yang sejuk, batuk kakek, dan cerita-cerita kanak yang mengendap dalam
kesadaran. Juga harapan: rumah kelak yang akan dibangun, anak-anak yang akan
dilahirkan dan dibesarkan, karier yang tercapai. Juga harapan akan melakukan
sesuatu yang berarti bagi bangsa ini.
Mencintai sebuah
tanah air adalah merasakan, mungkin
menyadari, bahwa taka da negeri lain, taka da bangsa lain, selain dari yang
satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja, dan
terutama untuk mati. Ini yang seharusnya terjadi atau mungkin telah terjadi
hanya saja tidak kita sadari, pada perasaan kita atas merah putih, atas
Indonesia. Saat kita tidak memiliki perasaan cinta tersebut, banyak alasan kita
untuk mendepak Indonesia dari hati dan pikiran kita. Tapi saat cinta itu ada,
akan membuat kita tetap melihat keburukan yang terjadi, perasaan kecewa dan
marah akan hal itu, hanya saja itu semua dirangkum oleh perasaan ingin
memperbaiki keburukan tersebut menjadi hal yang lebih baik lagi dengan karya
yang dapat kita buat. Tidak menyerah karena keadaan dan rasa percaya yang tetap
menyelimuti diri kita untuk tetap bertahan dengan senang hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar