Kamis, 28 Mei 2015

Malala Yousafzai




Karena saya perempuan, saya harus sekolah.
            Malala Yousafzai lahir di Pakistan pada tanggal 12 Juli 1997. Seperti Kartini, kata-katanya, tulisannya, merupakan catatan harapan dan kepedihandari kaum yang melawan dan terjepit. Tapi ia bukan Kartini. Penuturannya lebih berani, lebih berbahaya, dan dengan latar belakang budaya yang berbeda.
***
            Malala adalah seorang remaja Pakistan yang memperjuangkan hak-hak perempuan seusianya untuk dapat bersekolah. Dalam sebuah wawancara dengan Al-Jazeera pada tahun 2011, Malala Yousafzai mengatakan bahwa “Jika generasi baru ini tidak diberi pena, mereka akan diberi senjata oleh para teroris.” Tentu lebih mudah bagi Malala jika ia hidup di Indonesia, Inggris, Amerika atau negara lainnya yang menjamin pemenuhan hak pendidikan bagi anak. Namun Malala hidup di Pakistan, sebuah negeri dengan jutaan perang dimana-mana. Taliban, sebuah partai yang sudah dinyatakan dilarang di Pakistan terus mengancam Malala atas tindakannya, pada saat ancaman itu muncul Malala baru berumur 11 tahun.
            Perjuangan Malala dimulai melalui aktivitas menulis untuk BBC dengan Bahasa Urdu. Kala itu, sang ayah, Ziauddin Yousafzai diminta oleh temannya Abdul Hai Kakkar, seorang reporter BBC dari Pakistan agar mencarikan seorang perempuan yang mau menuliskan kisah hidupnya di bawah kekuasaan Taliban. Masa itu, gerakan militan Taliban yang dipimpin oleh Maulana Fazlullah mengambil alih kekuasaaan di Swat Valley, mematikan televisi, musik dan kesempatan pendidikan bagi perempuan, melarang perempuan pergi berbelanja. Awalnya, seorang gadis bernama Aisha, murid ayahnya setuju untuk menulis sebuah diary. Beberapa diary saja baru dituliskan dan orang tua Aisha langsung melarangnya untuk menulis lagi karena takut dengan ancaman Taliban. Akhirnya, Malala yang menggantikan Aisha padahal ia empat tahun lebih muda dan masih duduk di kelas tujuh.
            Malala yang menuliskan diary-nya dengan tulisan tangan dan memberikannya pada seorang reporter yang akan men-scan tulisannya, mengungkapkan semua yang dialaminya. Blog tersebut mampu menangkap problem psikis Malala ketika perang Swat yang menjadi awal dilakukannyaa operasi militer yang kemudian mengakibatkan semakin sedikit gadis yang bersekolah dan akhirnya sekolahnya pun ditutup. Setelah pelarangan  sekolah, Taliban melanjutkan aksinya dengan menghancurkan gedung-gedung sekolah di wilayah itu. Namun Malala tidak berhenti berpikir untuk pendidikannya.
            Setelah diary BBC berakhir, Malala dan ayahnya didekati oleh reporter New York Times (sebuah koran ternama di Amerika Serikat) untuk membuat film dokumenter. Dalam film dokumenter tersebut, Malala menyampaikan “Aku sangat bosan tinggal di tempat evakuasi karena tidak ada buku yang bisa aku baca”. Malala melalui tulisannya telah mengajak semua perempuan untuk meraih mimpinya mengenyam pendidikan. Proses hidup yang dijalani Malala mengubah cita-citanya dari menjadi seorang dokter menjadi seorang politisi. “Aku mempunyai mimpi baru. Aku harus menjadi seorang aktivis politik untuk menyelamatkan negeri ini. Aku harus menyingkirkan krisis ini dari negeriku.”
            Perjuangan Malala bukan tanpa risiko. Selasa, 9 Oktober 2012, rombongan pasukan Taliban menghentikan bus sekolah yang membawa Malala dan menanyakan seorang gadis bernama Malala. Tanpa banyak kata, seorang Taliban tepat di kepala dan lehernya dari jarak dekat. Tidak hanya Malala, kedua temannya yang duduk di sebelah Malala juga ditembak. Juru bicara Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP), Ehsanullah Ehsan, dengan bangga mengatakan atas “kesuksesan“ penembakan itu. “Ia adalah anak yang berpikiran Barat. Ia selalu berbicara menentang kami. Kami akan menyerang barang siapa yang berbicara melawan Taliban,” katanya. “Kami sudah memperingatkannya untuk jangan lagi berbicarra menentang Taliban dan jangan lagi mendukung Barat, dan mengikuti jalan Islam,” tambahnya
            Malala yang kritis segera dibawa ke rumah sakit. Ayahnya berpikir bahwa Malala tidak akan selamat sehingga ia telah memesan liang lahat untuk Malala. Namun Allah berkata lain, Malala diselamatkan dan mendapatkan pengobatan medis terlengkap di London, Inggris. Upaya pembunuhan Malala membawa simpati dari seluruh penjuru dunia. Para pemimpin dunia bahkan mengeluarkan pernyataan keras atas penembakan Malala. Presiden Barack Obama menyebut penembakan tersebut sebagai tindakan yang tercela, menjijikan, dan tragis. Ban ki Moon, sekjen PBB menyebut tindakan Taliban sebagai tindakan yang mengerikan dan tidak berperikemanusiaan.
            Meski demikian Malala tidak pernah berhenti. “Kami hidup di abad 21. Bagaimana bisa hak-hak kami mendapatkan pendidikan dihilangkan? Bila pria diiizinkan sekolah dan bebas beraktivitas, sebagai perempuan kami menuntut hak yang sama,” ujarnya. Menurut Malala, melarang wanita untuk menuntut ilmu itu tidak ada dalam Al-Quran. “Ayat mana yang menyatakan anak perempuan tidak diizinkan ke sekolah?” tantangnya. Selain berbagi pikiran melalui blognya, Malala kemudian membentuk Yayasan Pendidikan Malala yang membantu anak perempuan miskin agar dapat bersekolah. Beberapa penghargaan pun didapat Malala. Bulan Oktober 2011, Desmond Tutu mengumumkan Malala sebagai nominasi Penghargaan Kedamaian Anak-Anak Internasional dan menjadi selebriti di Pakistan. Profil Malala semakin melonjak saat ia mendapat penghargaan “Penghargaan Pemuda Nasional untuk Perdamaian” pada bulan Desember 2011.
            Sosok Malala telah memberikan banyak inspirasi untuk dunia. Dalam budaya Islam, manusia termasuk muslimah harus menjadi teladan moral dan cerminan akhlak di tengah masyarakat sehingga orang lain dapat berkaca kepadanya. Keberanian yang ditunjukkan Malala telah memberikan cerminan itu, ia tidak takut menentang sesuatu yang ia pandang sebagai kesalahan. Malala yang baru berumur belasan tahun telah menemukan jalan menginspirasi orang lain, sudah saatnya bagi muslimah lain untuk menemukan jalannya menginspirasi sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar