Kamis, 28 Mei 2015

CATATAN RAMADHAN: SEBUNGKUS NASI


Berbeda dengan sahur-sahur sebelumnya, sahur pada tahun ini saya lakukan bersama anak-anak kolong langit, sebutan saya untuk anak-anak kolong jembatan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Mereka adalah anak-anak pemulung yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pernah suatu hari saya memergoki mereka sedang memakan anggur-anggur busuk pemberian seseorang.
“Jangan dibuang, ini rezeki dari Allah” begitu kata mereka
Maka untuk memastikan bahwa apa yang mereka makan di hari pertama puasa layak untuk dikonsumsi, saya bersama teman-teman satu kampus mengadakan bakti sosial di sana. Nasi-nasi bungkus pun dibagikan. Akhirnya, hanya tersisa satu nasi di tanganku. “Itu bagianmu.”kata temanku
Tapi baru saja ingin menikmati, kulihat di sudut jembatan seorang bocah memegangi perutnya, seperti menahan lapar yang amat sangat. Ia tidak berani mendekat karena bukan warga di sana. Ia hanya menumpang tidur. Spontan kuberi nasiku. Laparku tidak berarti apa-apa bila dibanding bocah ini, jelas dia lebih berhak. Jauh dari harapku, bocah itu membalas nasi bungkus itu dengan sesuatu yang lebih berharga. Dia berdoa untukku, teman-temanku, bahkan keluargaku. Mendoakan kesehatan, karier, hingga jodoh.
Dengan peristiwa itu, saya semakin mengerti apa itu puasa sebenarnya. Saya mungkin hanya merasakan kelaparan di siang hari, sementara mereka berhari-hari bahkan mungkin lebih. Dalam puasa, kita sebenarnya melanjutkan pesan Nabi untuk saling berbagi dan merasakan, menyelami sedikit penderitaan mereka, dan mensyukuri setiap hal kecil hingga Allah melipatgandakan kerberkahan di setiap perjalanan kehidupan kita.

KAU


Dari perempuan
Yang selalu bersedih melihatmu menangis
“kamu kuat”

Kau tahu bahwa aku tak bisa melakukan apa-apa selain berbicara kepada diriku sendiri untuk mengusir kesepianku. Kau tahu bahwa kesepianku ini tanpa penawar, tak seorang pun dapat melipur laraku, aku hanya dapat berkata pada diriku sendiri sebagai kawan bicaraku.
Dalam monolog panjang ini, “kau” adalah sasaran ceritaku, sesosok aku yang mendengarkanku dengan penuh perhatian, “kau” hanyalah bayang-bayang diriku. Saat aku mendengarkan “kau” yang menjadi milikku, aku menciptakan “dia” untukmu, karena kau seperti aku, kau tak kuasa menanggung kesepian, kau juga harus menemukan kawan bicara.
Maka kau bicara dengan “dia” seperti aku bicara dengan “kau”.
Dia berasal dari “kau”, tapi mengukuhkan keakuanku.
“Kau”, kawan berbincangku, kau membawa pengalaman dan imajinasiku dalam hubungan antara “kau” dan “dia” tanpa dapat membedakan mana imajinasi dan mana kenyataan

Malala Yousafzai




Karena saya perempuan, saya harus sekolah.
            Malala Yousafzai lahir di Pakistan pada tanggal 12 Juli 1997. Seperti Kartini, kata-katanya, tulisannya, merupakan catatan harapan dan kepedihandari kaum yang melawan dan terjepit. Tapi ia bukan Kartini. Penuturannya lebih berani, lebih berbahaya, dan dengan latar belakang budaya yang berbeda.
***
            Malala adalah seorang remaja Pakistan yang memperjuangkan hak-hak perempuan seusianya untuk dapat bersekolah. Dalam sebuah wawancara dengan Al-Jazeera pada tahun 2011, Malala Yousafzai mengatakan bahwa “Jika generasi baru ini tidak diberi pena, mereka akan diberi senjata oleh para teroris.” Tentu lebih mudah bagi Malala jika ia hidup di Indonesia, Inggris, Amerika atau negara lainnya yang menjamin pemenuhan hak pendidikan bagi anak. Namun Malala hidup di Pakistan, sebuah negeri dengan jutaan perang dimana-mana. Taliban, sebuah partai yang sudah dinyatakan dilarang di Pakistan terus mengancam Malala atas tindakannya, pada saat ancaman itu muncul Malala baru berumur 11 tahun.
            Perjuangan Malala dimulai melalui aktivitas menulis untuk BBC dengan Bahasa Urdu. Kala itu, sang ayah, Ziauddin Yousafzai diminta oleh temannya Abdul Hai Kakkar, seorang reporter BBC dari Pakistan agar mencarikan seorang perempuan yang mau menuliskan kisah hidupnya di bawah kekuasaan Taliban. Masa itu, gerakan militan Taliban yang dipimpin oleh Maulana Fazlullah mengambil alih kekuasaaan di Swat Valley, mematikan televisi, musik dan kesempatan pendidikan bagi perempuan, melarang perempuan pergi berbelanja. Awalnya, seorang gadis bernama Aisha, murid ayahnya setuju untuk menulis sebuah diary. Beberapa diary saja baru dituliskan dan orang tua Aisha langsung melarangnya untuk menulis lagi karena takut dengan ancaman Taliban. Akhirnya, Malala yang menggantikan Aisha padahal ia empat tahun lebih muda dan masih duduk di kelas tujuh.
            Malala yang menuliskan diary-nya dengan tulisan tangan dan memberikannya pada seorang reporter yang akan men-scan tulisannya, mengungkapkan semua yang dialaminya. Blog tersebut mampu menangkap problem psikis Malala ketika perang Swat yang menjadi awal dilakukannyaa operasi militer yang kemudian mengakibatkan semakin sedikit gadis yang bersekolah dan akhirnya sekolahnya pun ditutup. Setelah pelarangan  sekolah, Taliban melanjutkan aksinya dengan menghancurkan gedung-gedung sekolah di wilayah itu. Namun Malala tidak berhenti berpikir untuk pendidikannya.
            Setelah diary BBC berakhir, Malala dan ayahnya didekati oleh reporter New York Times (sebuah koran ternama di Amerika Serikat) untuk membuat film dokumenter. Dalam film dokumenter tersebut, Malala menyampaikan “Aku sangat bosan tinggal di tempat evakuasi karena tidak ada buku yang bisa aku baca”. Malala melalui tulisannya telah mengajak semua perempuan untuk meraih mimpinya mengenyam pendidikan. Proses hidup yang dijalani Malala mengubah cita-citanya dari menjadi seorang dokter menjadi seorang politisi. “Aku mempunyai mimpi baru. Aku harus menjadi seorang aktivis politik untuk menyelamatkan negeri ini. Aku harus menyingkirkan krisis ini dari negeriku.”
            Perjuangan Malala bukan tanpa risiko. Selasa, 9 Oktober 2012, rombongan pasukan Taliban menghentikan bus sekolah yang membawa Malala dan menanyakan seorang gadis bernama Malala. Tanpa banyak kata, seorang Taliban tepat di kepala dan lehernya dari jarak dekat. Tidak hanya Malala, kedua temannya yang duduk di sebelah Malala juga ditembak. Juru bicara Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP), Ehsanullah Ehsan, dengan bangga mengatakan atas “kesuksesan“ penembakan itu. “Ia adalah anak yang berpikiran Barat. Ia selalu berbicara menentang kami. Kami akan menyerang barang siapa yang berbicara melawan Taliban,” katanya. “Kami sudah memperingatkannya untuk jangan lagi berbicarra menentang Taliban dan jangan lagi mendukung Barat, dan mengikuti jalan Islam,” tambahnya
            Malala yang kritis segera dibawa ke rumah sakit. Ayahnya berpikir bahwa Malala tidak akan selamat sehingga ia telah memesan liang lahat untuk Malala. Namun Allah berkata lain, Malala diselamatkan dan mendapatkan pengobatan medis terlengkap di London, Inggris. Upaya pembunuhan Malala membawa simpati dari seluruh penjuru dunia. Para pemimpin dunia bahkan mengeluarkan pernyataan keras atas penembakan Malala. Presiden Barack Obama menyebut penembakan tersebut sebagai tindakan yang tercela, menjijikan, dan tragis. Ban ki Moon, sekjen PBB menyebut tindakan Taliban sebagai tindakan yang mengerikan dan tidak berperikemanusiaan.
            Meski demikian Malala tidak pernah berhenti. “Kami hidup di abad 21. Bagaimana bisa hak-hak kami mendapatkan pendidikan dihilangkan? Bila pria diiizinkan sekolah dan bebas beraktivitas, sebagai perempuan kami menuntut hak yang sama,” ujarnya. Menurut Malala, melarang wanita untuk menuntut ilmu itu tidak ada dalam Al-Quran. “Ayat mana yang menyatakan anak perempuan tidak diizinkan ke sekolah?” tantangnya. Selain berbagi pikiran melalui blognya, Malala kemudian membentuk Yayasan Pendidikan Malala yang membantu anak perempuan miskin agar dapat bersekolah. Beberapa penghargaan pun didapat Malala. Bulan Oktober 2011, Desmond Tutu mengumumkan Malala sebagai nominasi Penghargaan Kedamaian Anak-Anak Internasional dan menjadi selebriti di Pakistan. Profil Malala semakin melonjak saat ia mendapat penghargaan “Penghargaan Pemuda Nasional untuk Perdamaian” pada bulan Desember 2011.
            Sosok Malala telah memberikan banyak inspirasi untuk dunia. Dalam budaya Islam, manusia termasuk muslimah harus menjadi teladan moral dan cerminan akhlak di tengah masyarakat sehingga orang lain dapat berkaca kepadanya. Keberanian yang ditunjukkan Malala telah memberikan cerminan itu, ia tidak takut menentang sesuatu yang ia pandang sebagai kesalahan. Malala yang baru berumur belasan tahun telah menemukan jalan menginspirasi orang lain, sudah saatnya bagi muslimah lain untuk menemukan jalannya menginspirasi sekitarnya.

Lakukan dengan Sederhana, Asal Setia


Dalam perjalanan hidup di dunia ini, kita punya peran masing-masing untuk dimainkan.  Setiap peran yang dipilih akan memiliki dampaknya tersendiri. Pemanasan global adalah kebenaran tak terelakkan bahwa apa yang kita lakukan di suatu tempat akan berdampak di tempat lain. Ketika kita menggunakan tisu, menghidupkan mobil, membangun bangunan bertingkat, secara tidak sadar pada waktu yang sama gletser di kutub meleleh, 1 lapisan es di laut menjauh, kebakaran di musim panas meningkat, dan satu-persatu pulau-pulau kecil hilang~tenggelam.
            Sudah saatnya kita memahami, atau setidaknya merasakan, mata rantai sebab-akibat global warming yang terjadi. Kitalah penghilang keragaman dan keutuhan makhluk hidup, pemeran utama dalam perubahan iklim bumi, dan pengancam terbesar kepunahan alam semesta. Saatnya kita sadar bahwa kita tak punya pilihan lain selain meningkatkan kepedulian pada alam dan segala bentuk kehidupan di dalamnya.
Salah satu cara untuk meningkatkan kepedulian kita terhadap lingkungan  dengan menerapkan green lifestyle dalam kehidupan sehari-hari. Green lifestyle adalah sebuah gaya hidup yang menjadikan bumi sebagai “partner” dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai “objek” eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Banyak orang berpikir untuk melakukan green lifestyle  harus dilakukan dengan cara sulit dan dalam upaya besar. Padahal untuk memulai green lifestyle cukup dilakukan dengan sederhana, apapun yang kita bisa, dimulai diri dan rumah sendiri. Cukup dengan 3R (reuse, reduce, recyle) yang sederhana. Mencari banyak informasi tentang masalah lingkungan agar wawasan kita terbuka dan kita tahu apa yang sedang terjadi pada Bumi, menanam pohon untuk setiap orang di rumah,  membuat kompos jadi sampah organik, menolak plastik sebisa mungkin dan membawa kantong belanja ke mana-mana. Yakinlah bahwa sesederhana apapun perbuatan kita, jika dilakukan dengan setia, akan menjadi perbuatan besar pada waktunya.
 Selain itu, kita juga dapat mengusulkan kepada lembaga-lembaga terkait mengenai solusi-solusi mengenai penanganan lingkungan. Salah satunya adalah kebijakan untuk memasukkan pelajaran mengenai konservasi lingkungan menjadi mata pelajaran terpisah dari IPA. Pelajaran tersebut memfokuskan pada green living, smart consuming, biopori holes, pengolahan air seni hingga ternak cacing. Sudah saatnya kita bergerak karena kitalah pemeran utamanya. Tak perlu menunggu pemerintah bertindak. Tidak perlu juga menunggu penjarah hutan tertangkap, setiap langkah kita adalah pilihan politis dan ekologis yang menentukan masa depan seisi Bumi
Dan inilah bentuk pemberdayaan yang nyata sekaligus sangat mungkin untuk dilakukan. Mari selamatkan bumi kita!

PEREMPUAN TIONGHOA DAN TRAGEDI MEI’98




Kekerasan kerap mewarnai sejarah Indonesia, seperti peristiwa Tragedi Mei’98 ketika banyak terjadi tindakan anarkis seperti penjarahan dan pembakaran toko-toko di berbagai wilayah Indonesia, khususnya wilayah Jakarta. Kekerasan seksual juga dialami oleh perempuan keturunan etnis Tionghoa pada saat itu, hingga 16 tahun setelah peristiwa tersebut belum ada tindakan tegas pemerintah untuk mengungkap kebenaran.
            Satu hal yang tidak diketahui oleh banyak orang adalah terjadinya kekerasan seksual yang menimpa perempuan etnis Tionghoa ketika penjarahan berlangsung. Aksi kekerasan seksual ini juga terorganisir dengan adanya gang rape, yaitu sekelompok orang yang melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan Tionghoa. Seperti yang dituturkan seorang korban dalam laporan Komnas Perempuan bahwa ada sekelompok laki-laki yang datang mengancam akan memperkosanya dan mereka tidak berhenti menyakitinya sampai akhirnya si perempuan berteriak dengan bahasa Bugis dan para pelaku diyakinkan bahwa si perempuan bukanlah dari etnis Tionghoa. Menurut laporan TGPF ada 85 korban kekerasan seksual: pemerkosaan sebanyak 52 orang, pemerkosaan dengan penganiayaan sebanyak 14 orang, penganiayaan seksual sebanyak 10 orang, dan pelecehan seksual sebanyak 9 orang. Data-data yang telah ditemukan oleh para relawan kemanusiaan itu merupakan sebuah laporan korban kekerasan tanpa ada tindak lanjut di pengadilan. Di luar dari data-data yang saya baca itu, saya pun berpikir, mengapa etnis Tionghoa?
            Indonesia adalah bangsa yang memiliki beragam suku dan ras. Etnis Tionghoa masuk Indonesia melalui perdagangan yang kemudian melebur menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Bercermin dari kekerasan yang kerap terjadi, perempuan malah menjadi korban dan dilecehkan. Kita seharusnya bisa belajar untuk tidak saling menghajar, tapi belajar untuk saling sejajar. Seperti kata pepatah, “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”. Tidak ada satu pun golongan yang paling indah di antara suku, agama, bahasa, maupun ras. Semuanya menjadi paling indah karena adanya kehidupan yang harmonis di tengah perbedaan. Inilah arti toleransi sesunggunya. Dalam perenungan di masa muda ini, saya belajar merendahkan hati untuk mengakui bahwa Tuhan tidak salah ketika menciptakan banyak perbedaan di dunia ini. Perbedaan membuat kita masing-masing menjadi individu yang berharga dan istimewa.
            Sayangnya, potensi tersebut kerap menyusut kala provokasi acapkali disulut oleh oknum-oknum yang tidak tahu bagaimana cara menjaga mulut. Lantas, langkah seperti apa yang terhitung pantas agar karakter masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi bisadipangkas dan potensi diri masyarakat akan toleransi terhadap sesama bisa tetap kental sebagai identitas? Menurut saya, implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika pada generasi penerus bangsa melalui pendidikan adalah salah satu langkah preventif yang paling efektif. Pendidikan merupakan sektor yang paling krusial dalam usaha konservasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika yang sangat fenomenal. Sebab, dengan adanya implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika pada generasi muda melalui pendidikan, kita telah mempersiapkan generasi penerus bangsa yang jauh lebih berkompeten untuk terjun dalam kehidupan bernegara yang plural. Mereka pun diharapkan memiliki imunitas yang lebih tinggi dalam mengimplementasikan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika sehingga tidak mudah goyah dengan adanya provokasi dari oknum-oknum yang ingin memecah belah bangsa.Selain itu, implantasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika melalui pendidikan juga dapat membuka mata generasi penerus bangsa akan betapa pentingya arti nasionalisme dibanding egoisme kelompok yang selama ini dibungkus dalam kata “solidaritas”. Kata “solidaritas” selama ini telah membius sebagian masyarakat Indonesia untuk berbuat lebih ketika sebuah gesekan akibat perbedaan terjadi yang akhirnya berujung pada konflik yang bertajuk ”kalah jadi abu, menang jadi arang”. Beberapa dari kita, selama ini tidak sadar bahwa kita telah diadu domba oleh egoisme kita sendiri. Kita lebih gemar mengibarkan bendera lambang kelompok kita masing-masing dibanding bendera negara kita tercinta, yakni merahputih. Inilah yang selama ini menjadi penyakit endemik dari kondisi psikis masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi dan cenderung “ikutikutan”. Oleh karena itu, kita butuh banyak tenaga segar dari generasi penerus bangsa yang memiliki jiwa kepemimpinan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan rasa cinta terhadap tanah air alias nasionalisme.



HUT SMAN 33 JAKARTA


Cerita ini tentang saya. Tapi lebih mungkin tentang kami.
Cerita yang diawali oleh harapan.
...
Barangkali karena hawa panas yang tak mau menguap dari ruangan sempit berukuran 3x2 meter yang dimuati 27 anak. Barangkali lantaran harapan tinggi. Barangkali juga karena ini adalah puncak program kerja dan ulang tahun ke-33, kami­­–pengurus­­ OSIS SMAN 33 Jakarta sangat berpikir dan bekerja keras untuk HUT PENSI ini. Jabatan saya pada saat itu adalah Ketua OSIS sekaligus Kordinator Lapangan. Butuh uang lebih dari 60 juta untuk acara ini.
Mengumpulkan uang sebesar itu dalam waktu singkat tentu tidak mudah bagi kami karena pertama, kami bukan anak muda yang mempunyai banyak channel dalam sponsorship dan kedua, sekolah kami bukanlah sekolah terkenal hingga sponsor mudah untuk menyuntikkan dana. Saya pun sadar tak akan bisa banyak menyumbang dana, ayah saya hanya pengangguran dan ibu saya seorang tukang kue.
Empat bulan genap berlalu. Banyak hal yang telah kami lakukan dari berjualan nasi uduk, gorengan, lontong, cokelat, minuman, keripik, wafer, biskuit, permen, mengamen, mencari donatur, hingga datang ke lebih 70 SMP di Jakarta untuk mengumpulkan 6000 angket yang kami percayai dapat mendatangkan Soul ID sebagai janji sebuah sponsor. Usaha kami sampai berurusan dengan pedagang di Monas karena mereka merasa terganggu dengan dagangan kami yang dianggap membuat usahanya tidak laku. Selain itu, seorang teman kami mengalami kecelakaan saat mengantarkan proposal ke sponsor. Pada tanggal yang sama pun, ada 2 sekolah yang mengadakan pensi padahal besar harapan kami penjualan tiket dapat diandalkan.
Keadaan semakin tak menyenangkan, karena ada kekecewaan pada diri sendiri. Hal itu kemudian menjadi bagian paling sarkastik bagi dan berasal dari diri sendiri. Keputusasaan yang menumpuk dan jadilah air mata. Pada saat yang tiba-tiba itu, ada sentuhan dingin dari teman sesama panitia. Benar-benar dingin, karena teman saya menempelkan Joy Tea Sosro dingin di pipi saya. Joy tea sosro adalah salah satu bentuk barang yang kami dapat dari donatur dan beberapa kami jual kembali untuk mendapatkan dana, sisanya kami gunakan untuk kepentingan konsumsi.
“Kalau kata iklan mah, tenangkan diri dengan Joytea. Nih minum dulu”
Ia tersenyum.
“Jangan putus asa. Mungkin kita berjalan lambat tapi kita lebih beruntung karena apa yang kita lihat lebih terperinci daripada mereka yang berjalan cepat. Seperti, kalau mereka yang berjalan cepat hanya tahu bahwa mereka melihat pohon, kita bisa lebih tahu bahwa itu pohon apel.  Lagi pula jika rencana A gagal, kita masih punya 26 alfabet yang bisa kita susun untuk acara ini.” Tuturnya seraya memeluk  tubuh besarku
The time was coming and the show must go on...
7 Mei 2011. Kami berhasil menghadirkan 3 bintang tamu besar, Alexa, Soul ID, dan Happy Pop. Dana yang kami kumpulkan pun mencapai target bahkan melampaui. Jauh terpenting bagi kami adalah mereka­–para penonton hadir,menikmati, dan bahagia bersama kami.
Yah mencoba, gagal, dan mencoba lagi

Menanti Pendidikan yang Satu, untuk Indonesia Bersatu


Sampai detik ini, Indonesia masih memiliki sebuah janji kemerdekaan yang belum mampu untuk dilunasinya. Sebuah janji untuk mendirikan sekolah-sekolah hingga ke balik gunung. Sebuah janji untuk mengantarkan guru-guru hingga ke pelosok daerah. Sebuah janji singkat yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sebuah janji untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sejatinya mencerdaskan kehidupan bangsa memang bukan hanya soal pendidikan apalagi formal. Akan tetapi, pendidikan adalah unsur amat penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Penempatan pendidikan sebagai salah satu janji kemerdekaan menekankan bahwa janji lain yang meliputi keamanan, ekonomi dan peran internasional, tidak mungkin dapat terwujud tanpa memberikan perhatian yang baik pada pendidikan. Pembangunan yang dilakukan harus berpusat pada manusia,dan pendidikan adalah kunci untuk menciptakan manusia yang berkualitas. Dalam perjalanannya,berbagai persoalan muncul dalam bidang pendidikan dan masalah yang paling pokok di Indonesia adalah ketidakmerataan pendidikan di berbagai daerah khususnya daerah terdepan dan terluar di Indonesia.
Secara geografis, wilayah Indonesia yang cukup luas sebagai negara kepulauan ternyata menjadi salah satu penghambat pemerataan pembangunan pendidikan. Hal tersebut berakibat pembangunan pendidikan tidak dapat terlaksana dengan maksimal khususnya di daerah terdepan dan terluar Indonesia. Ketimpangan pembangunan pendidikan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain sangat terlihat sekali, baik secara fisik maupun secara non-fisik. Padahal pembangunan pendidikan di daerah terdepan dan terluar Indonesia tidak boleh tertinggal dengan wilayah yang lain.
Melihat begitu banyaknya masalah pendidikan di Indonesia terutama di daerah terdepan dan terluar, maka dibutuhkan berbagai solusi untuk mengatasinya. Solusi pertama adalah dengan mendirikan badan amal usaha yang bertujuan untuk membiayai operasional pendidikan di daerah terdepan dan terluar sehingga siswa tidak lagi menanggung biaya sekolahnya. Sekalipun siswa dikenai biaya maka harus disesuaikan dengan kemampuan orang tua. Selain itu, pemerintah dan swasta dapat menyediakan beasiswa pendidikan agar masyarakat yang kurang mampu di daerah terdepan dan terluar dapat mengenyam bangku sekolah.
Kedua, pemerintah harus memberikan reward yang menarik agar memotivasi para guru yang professional untuk dapat berminat mengajar di daerah-daerah terdepan dan terluar. Reward sangat diperlukan mengingat akhir-akhir ini permasalahan pendidikan bukan karena tenaga kurang akan tetapi sikap pemerintah yang kurang menghargai profesi guru apalagi yang bertugas di daerah pedalaman yang serba mendapat keterbatasan dan kekurangan baik fasilitas maupun keamanan.
Ketiga, meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan yang diharapkan mampu meningkatkan mutu serta kualitas pendidikan masyarakat terdepan dan terluar. Akses dan fasilitas informasi dengan sendirinya akan meningkatkan mutu pendidikan dan kualitas pemikiran pada suatu masyarakat. Keempat, panggilan bagi pemuda-pemudi Indonesia untuk menjadi relawan pengajar dan kontributor pendidikan sangat dibutuhkan artinya peran pemuda dalam dunia pendidikan harus mulai tumbuh dari kesadarannya untuk berbagi ilmu dengan generasi penerus yang ada di Indonesia.
Melalui kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam sebuah gerakan bersama, maka kapasitas dan sumber daya untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia, khususnya di daerah dapat dicapai. Mekanisme kerjasama dibangun dalam bentuk program pelatihan dan pedampingan untuk sekolah-sekolah yang didukung tenaga ahli, serta pendekatan berdasarkan hasil penelitian. Semakin banyak pihak-pihak yang terlibat untuk berkontribusi meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, semakin besar pula harapan menuju Indonesia yang lebih baik.

CATATAN KEBANGSAAN: Tak Kemana-Mana


“Kau tak kenal bangsamu sendiri…” -Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa)
Saya selalu berpendapat: tidak boleh kita membenci sesuatu yang tidak kita pahami.
Saya terus bingung dengan orang-orang yang terang-terangan kepada saya mengaku pesimis terhadap Indonesia, mengaku skeptis, mengaku kehilangan harapan, bahkan membenci Indonesia.
Namun, setelah waktu cukup lama saya mengenalnya, ada beberapa hal yang saya pahami.
Saya mensyukuri kebangsaan ini karena saya mencintainya. Saya mulai paham bahwa cinta bukan mengenai apa yang terbaik dari yang ada dan tersedia, tapi apa yang kita rasa paling sesuai untuk diri kita, yang tetap membawa senyum di hati kita dalam keadaan apapun, kapanpun. Merah putih ini banyak kehebatannya, banyak juga bobroknya. Tapi itu hanya keadaan biasa saja yang tidak membuat kita lantas ingin berganti warna.
Saya yakin, saya tak sendirian. Walaupun mereka tidak (pernah) merumuskan dengan fasih apa arti “Indonesia” bagi mereka, tapi mereka menunjukkannya. Saya melihat Jihan dan Dimas yang berangkat ke Kalimantan untuk membantu pendidikan anak-anak Indonesia di sana. Saya melihat Andi yang berkaca-kaca matanya menyanyikan lagu Padamu Negeri. Dan saya masih melihat puluhan anak Indonesia yang masih memberi hormat kepada sang Merah Putih saat di kibarkan. Saya melihat di televisi, ada protes Aceh 1999. Ada juga protes Aceh 1932. Mereka menentang keputusan pemerintah Hindia-Belanda untuk menggunakan bahasa Aceh di sekolah bumiputera. Rakyat yang serta dalam pertemuan besar itu justru menghendaki bahasa Indonesia. Bukan karena di Kutaraja orang Aceh ingin mencampakkan bahasa Aceh. Tetapi karena empat tahun sebelumnya, mereka telah bersumpah untuk memaklumkan bahwa mereka ingin punya satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air.
Jika kita bisa belajar, mungkin sejak ini sebaiknya kita selalu bertanya: tentang Indonesia, apa sebenarnya yang hendak kita dan mereka dahulu pertahankan? Bukankah banyak sekali kepahitan dalam Indonesia? Tapi mengapa mereka, para pendahulu kita di awal abad ke-20 dengan perjuangan yang lebih berat daripada kita sekarang, dengan darah, raga dan doa terus memperjuangkan Indonesia?
Sadar atau tidak. Hati mereka, telah begitu dekat dengan tanah air. Tanah ini adalah ingatan dan harapan yang menyangkut tubuh: harum padi yang terkenang, rasa rempah yang membekas, deras arus yang tak bisa dilupakan, suara ayah yang memuji, lagu ibu yang sejuk, batuk kakek, dan cerita-cerita kanak yang mengendap dalam kesadaran. Juga harapan: rumah kelak yang akan dibangun, anak-anak yang akan dilahirkan dan dibesarkan, karier yang tercapai. Juga harapan akan melakukan sesuatu yang berarti bagi bangsa ini.
Mencintai sebuah tanah air  adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa taka da negeri lain, taka da bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja, dan terutama untuk mati. Ini yang seharusnya terjadi atau mungkin telah terjadi hanya saja tidak kita sadari, pada perasaan kita atas merah putih, atas Indonesia. Saat kita tidak memiliki perasaan cinta tersebut, banyak alasan kita untuk mendepak Indonesia dari hati dan pikiran kita. Tapi saat cinta itu ada, akan membuat kita tetap melihat keburukan yang terjadi, perasaan kecewa dan marah akan hal itu, hanya saja itu semua dirangkum oleh perasaan ingin memperbaiki keburukan tersebut menjadi hal yang lebih baik lagi dengan karya yang dapat kita buat. Tidak menyerah karena keadaan dan rasa percaya yang tetap menyelimuti diri kita untuk tetap bertahan dengan senang hati.