Senin, 14 Juli 2014

GAZA

    
Aku tengah berjalan di belakang dua orang teman. Matahari turun di punggung sebuah bukit yang menjulang melatari Gaza. Kurasakan selintas rasa sedih; langit itu mendadak berubah merah darah. Aku berdiri di sana gemetar oleh rasa takut, dan kurasakan jerit dahsyat yang tak henti-hentinya: menembus jalan penuh mayat yang terbentang tak putus-putusnya.
***
Saat itu, sekitar pukul empat sore, separuh langit Gaza gelap, hal yang sangat jarang terjadi–seakan-akan persiapan adegan terakhir kota ini tengah dilakukan. Terdengar suara ledakan-ledakan bom yang terus bergemuruh. Inilah Gaza, kotaku yang bukan kotaku lagi.
Jika kota ini runtuh, pelan-pelan, dan tentara mengepungnya selama berhari-hari datang sebagai pengrusak yang dingin dan ganas, kota ini hanya akan jadi sebuah cerita tentang negeri yang dihabisi oleh kekuatan jahat sesama saudaranya. Jika kota ini runtuh, aku tak tahu bagaimana akan bertindak setelah ini. Hidup dengan keadaan setengah runtuh saja sudah memeras semua daya dan keringat. Aku tentu tak ingin pula menjadi bagian dari keruntuhan kota ini. Aku ingin hidup dan bahagia. Jika kota ini runtuh, adakah yang membangunnya kembali atau meninggalkan semuanya? Aku mengimajinasikan semua proses itu. Ya, yang abadi memang tak akan di sini.
Di kota ini, aku, Rani Hammad, begitu orang-orang memanggilku, sudah hidup dan berkembang selama 15 tahun. Di kota ini juga, tempat ayahku menutup mata untuk terakhir kalinya , ayah mati syahid di daerah konflik. Semula kupikir hal itu sulit dan memang itu sulit. Tapi bukankah selalu ada yang pergi di kota ini? Seakan kematian bukanlah momen luar biasa bagi yang tak bisa kembali, tapi akhirnya, kematian di kotaku adalah peristiwa yang tak istimewa bagi dunia. Seseorang pernah selalu ada di sana, selalu ada di sini, kemudian tiba-tiba lenyap dan terus-menerus lenyap. Aku sedang tidak berhiperbolik teman, tapi lihatlah di kotaku setiap hari ada mayat yang betebaran di jalan bahkan terkadang ia membusuk sebelum sempat dikuburkan.
Semua rasanya memang terlalu rumit untuk dimaki atau ditangisi. Apalagi kini setelah rudal itu mengenai rumah kami. Semuanya hangus terbakar, menjadi hitam dan berbau gas. Dan kami, harus membuang semuanya ke tempat sampah. Semua menjadi tak berharga. Kursi, meja, televisi, tempat tidur semua harus dibuang ke tempat sampah. Mereka juga membakar mainan kesayanganku padahal itu adalah hadiah terakhir dari ayah.
Kata ibu aku harus tetap membuangnya karena itu telah berbau gas dan akan menyebabkan aku mati jika aku menciumnya. Baju-baju kami pun tidak luput dari gas. Kami pun akhirnya meminta baju dari tetangga kami. Andai ayah masih hidup ayah pasti akan marah besar kepada kami. Tapi kami tidak bisa melakukan apapun untuk makan saja kami sangat susah. Padahal kata orang, negeri Timur kaya akan minyak dan gas tapi mengapa itu adalah hal yang mahal bagi kami.
Terkadang waktu ibu pergi meninggalkanku sendiri aku bersembunyi di bawah tempat tidur. Aku takut seketika tentara-tentara jahat itu datang dan merusak benda-benda milikku lagi. Walaupun sebenarnya tak ada lagi benda di rumahku yang bisa disebut berharga. Setidaknya bagiku sendiri, foto di ruang keluarga kami adalah hal dan benda termahal yang pernah kumiliki. Itu adalah foto ayah ketika ayah kritis. Ayah tampak tampan di foto itu dengan riasan warna biru memar di pipi, jahitan di kepala dan dua lubang peluru di dadanya. Kalian jangan berpikir kalau aku atau ibuku yang mengambil gambar itu, itu kami dapat dari seorang wartawan. Dia baik sekali denganku. Aku telah menganggapnya sebagai kakak, tapi kini aku tak tahu dimana dia. Kabarnya dia disekap oleh tentara-tentara itu tapi aku yakin dia masih bisa bertahan. Dia bukan orang yang lemah.
Sekarang aku bingung ingin bercerita kepada siapa lagi. Andai teman-temanku ada di sampingku kembali mungkin ini akan lebih mudah. Andai mereka punya sedikit keberanian untuk keluar, bermain dan berbicara padaku. Andai tentara itu tidak datang dan membuat gangguan mental pada diri teman-temanku. Andai semua ini bukan perandaian.
Teman, aku yakin, kamu pasti ingin datang ke kotaku dan menjadi temanku. Meski begitu, aku sadar tak ada kapal atau kereta yang bisa mengantarmu langsung ke kotaku. Kata sebagian orang, jalan ke kotaku adalah jalan maut. Jalan labirin, kata sebagian yang lain. Entahlah. Mungkin kotaku telah berada dalam perut paus atau terkubur dalam perut bumi, atau masih dalam genggaman monster warna-warni, juga tak ada yang tahu. Aku hanya bingung menjelaskan bagaimana kamu bisa masuk dan keluar ke kotaku sedangkan aku tak pernah bisa untuk keluar dari sini.  Bagi kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa.
Kalaupun pada suatu saat nanti kotaku runtuh dan tak ditemukan, maka kenanglah kotaku seperti dalam suara keras hatiku di bait terakhir: ”Dulu di sini, ada sebuah kedamaian”.




Selasa, 17 Juni 2014

Menjadi Tentara Pangan Indonesia

Suatu kali di malam yang dingin, di tepi sebuah jalan di pinggiran Jakarta, saya pernah ditanya seorang penjaga warung makan. “Tahukah Mbak,” tanyanya, “Betapa susahnya saya untuk memasak ratusan butir beras menjadi nasi seperti ini tetapi betapa mudahnya para pembeli untuk tidak menghabiskan nasinya dan meninggalkannya yang kemudian akan saya buang percuma ke tempat sampah”. Saya yang ditanya sebenarnya mengerti perasaan sang penjaga warung makan namun hanya dapat menjawab dengan anggukan kepala. Sang penjaga warung makan pun melanjutkan, “Saya yang hanya memasak beras menjadi nasi saja merasa terganggu dengan kelakuan pembeli yang tidak menghabiskan nasinya apalagi petani yah yang perlu waktu hingga 6 bulan untuk menghasilkan satu butir beras.” Dari pertanyaan tersebut, rupanya penjaga warung makan itu ingin bicara soal cara manusia dalam memperlakukan makanan. Memang Indonesia negara yang kaya akan sumber daya alam hingga rakyatnya dapat hidup nyaman berlebihan bahkan hingga melakukan pemborosan seperti contoh di atas. Namun masyarakat Indonesia lupa bahwa kini zaman melesat dan keadaan berubah, dengan laju pertumbuhan penduduk 1,3 hingga 1,5 persen, sementara luas lahan pertanian yang tidak mengalami penambahan, Indonesia diprediksi akan mengalami krisis pangan di tahun 2017.
Dalam UU Tentang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 dijelaskan bahwa “Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.” Pangan berarti bukan hanya beras atau komoditas tanaman seperti padi, jagung, dan kedelai saja, melainkan juga mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Dengan demikian, pangan tidak hanya dihasilkan oleh pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan, tetapi juga oleh industri  pengolahan pangan. Kebutuhan pangan yang cukup tidak hanya bergantung pada jumlah tetapi juga dari keragamannya, sebagai sumber asupan zat gizi makro (yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak) dan zat gizi mikro (yang meliputi vitamin dan mineral) untuk pertumbuhan, kesehatan, daya tahan fisik, kecerdassan dan produktivitas manusia.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Seseorang, rumah tangga, sampai sebuah negara ataupun bangsa akhirnya akan menjadi “galau” apabila urusan perut ini tidak terpenuhi. Masalah kedaulatan pangan menjadi hal serius yang patut dipandang lebih dalam upaya pemecahan solusi yang sudah lama dicari. Saat ini hampir 870 juta orang di seluruh dunia menghadapi kekurangan gizi secara kronis akibat masalah ketahanan pangan yang tidak dapat diatasi oleh negaranya masing-masing. Setiap 1 orang dari 10 orang di dunia di malam hari tidak bisa tidur nyenyak karena perutnya lapar dan tidak cukup mendapatkan kebutuhan pangan dalam kehidupan sehari-harinya. Begitu banyak agenda kegiatan yang direncanakan dalam upaya menghadapi krisis pangan di Indonesia sendiri, namun rencana yang ada tidak berjalan optimal dan kerap kali justru muncul penolakan dari berbagai pihak. Seperti program padi hibrida yang tidak menguntungkan rakyat Indonesia karena mengimpor jenis bibit padi ini dari China, India, sebagian kecil Amerika, dan Filipina yang justru membuat petani Indonesia gagal panen. Pemerintah pun tidak memperbesar anggaran untuk petani atau nelayan kecil, tetapi mengundang investor. Selain itu, pemerintah tidak melihat potensi lokal, tetapi terus meningkatkan impor.
Potensi keanekaragaman sumber daya yang dimiliki Indonesia juga disia-siakan dari sektor perairan. Rencana Anggaran Pembelanjaan Kementerian Direktorat Jenderal Kelautan dan Perikanan tidak menjawab permasalahan para nelayan. Hal ini terlihat dari tidak adanya program pemerintah terkait illegal fishing, pencurian ikan di perairan Indonesia. Untuk kasus pencurian ikan ini, pemerintah mencatat dalam 15 tahun terakhir terdapat sepuluh negara berperan aktif mencuri ikan di perairan Indonesia, di antaranya Filipina, Hongkong, Taiwan, Malaysia, dan China. Terhadap hal ini, pemerintah tidak menyikapinya dalam anggaran  pemerintah di tahun 2013. Akibat hal ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp 30 triliun per tahunnya untuk ikan yang dicuri. Parahnya lagi, pemerintah lebih banyak membangun pelabuhan perikanan berskala besar. Sementara itu, nelayan kita adalah nelayan tradisional. Seharusnya, program yang dibuat untuk menyejahterakan nelayan Indonesia adalah merevitalisasi tempat pelelangan ikan. Sungguh ironis memang, mengingat Indonesia sebagai negara agraris justru memenuhi kebutuhan pangan nasionalnya bergantung pada negara-negara lain. Harapan Indonesia untuk menjadi negara yang berdaulat atas pangannya masih sangat jauh.
Perubahan-perubahan kebijakan memang perlu dilakukan diiringi denga penciptaan teknologi, pembangunan dan penataan kota serta reformasi fundamental di bidang-bidang pertanian, kehutanan, dan  perikanan. Tetapi tanpa adanya perubahan perilaku yang mendasar, tidak satu pun dari perubahan ini bisa terwujud. Oleh karena itu, sudah seharusnya sebagai masyarakat Indonesia yang turut serta menikmati sumber daya alamnya, kita juga menjaga kedaulatan pangan Indonesia. Tidak adil rasanya bila kita terlalu banyak mengambil sesuatu yang seharusnya menjadi hak generasi penerus kita kelak.
Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi yang sangat penting bagi upaya meningkatkan ketahanan pangan khususnya di tingkat lokal yang pelaksanaannya membutuhkan dukungan penuh dan konkrit dari semua pihak dalam upaya untuk memampukan, melibatkan, dan memberikan tanggung jawab yang lebih jelas kepada masyarakat dalam mengelola ketahanan pangan di tingkat lokal. Masyarakat inilah yang disebut sebagai tentara pangan karena tugasnya hampir mirip dengan tugas seorang tentara, yaitu untuk menjaga ketahanan dan kedaulatan. Untuk meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai tentara pangan dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan, antara lain pengembangan kapasitas untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing, penyediaan fasilitas kepada masyarakat, revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat.
Dalam rangka pengembangan kapasitas masyarakat untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan dan pengembangan teknologi yang berdasarkan spesifikasi daerah yang mempunyai keunggulan dalam kesesuaian dengan ekosistem setempat dan memanfaatkan input yang tersedia di lokasi serta memperhatikan keseimbangan lingkungan. Penyediaan fasilitas kepada masyarakat tidak terbatas pengadaan sarana produksi, namun juga sarana pengembangan agribisnis lain yang diperlukan seperti informasi pasar, peningkatan akses terhadap pasar, penyediaan modal usaha dan membuka kerjasama dengan mitra usaha lain. Dengan demikian lebih menjamin bahwa masyarakat tidak hanya memproduksi pangan, namun mendapatkan keuntungan dari usahanya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya
Revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat dimaksudkan untuk pengembangan lumbung pangan sebagai upaya untuk menampung hasil dalam jangka waktu tertentu dan pemanfaatan potensi bahan pangan lokal serta peningkatan spesifikasi berdasarkan budaya lokal sesuai dengan perkembangan selera masyarakat yang dinamis. Selain itu dalam skala rumah tangga, ibu rumah tangga juga perlu dikenalkan pada praktek ekoefisiensi dalam mengolah makanan di rumah. Sejak kecil juga penting dididik agar makan secukupnya dan tidak menghasilkan sisa makanan yang sebenarnya masih dapat dimakan. Perilaku-perilaku kecil tersebut dapat menjadi besar asal dilakukan dengan setia.
Sudah saatnya kita bergerak untuk ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia. Jangan hanya menunggu pemerintah bertindak. Tidak perlu juga menunggu para penjarah kekayaan sumber daya alam kita tertangkap, setiap langkah kita adalah pilihan politis dan ekologis yang menentukan masa depan pangan bumi khususnya Indonesia. Dan inilah bentuk pemberdayaan yang nyata sekaligus sangat mungkin untuk dilakukan. Maka dari itu, mari menjadi tentara pangan untuk Indonesia dan dunia yang lebih baik!

Selasa, 10 Juni 2014

PAHLAWAN MASA KINI


Pahlawan...jangan menanti kedatangannya. Mereka adalah aku, kau, dan kita semua. Mereka bukan orang lain. Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji untuk merebut takdir kepahlawanan mereka, dan dunia akan menyaksikan gugusan pulau-pulau ini menjelma menjadi untaian kalung zamrud kembali yang menghiasi leher sejarah” (Matta, 2003).
Pahlawan sejati memang dibutuhkan di sini. Tapi jangan menanti kedatangannya atau menggodanya untuk hadir ke sini. Jangan menunggu pahlawan seperti orang-orang lugu tertindas yang menunggu datangnya Ratu Adil. Ratu Adil, Satrio Piningit, atau apa pun namanya itu tidak akan pernah datang karena mereka hanyalah abstraksi yang mungkin hanya ada dalam imajinasi dan definisi. Menunggu pahlawan adalah kesia-siaan karena sejatinya ia sudah ada di dalam diri setiap manusia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam esainya di majalah minggguan Time edisi 10 Oktober 2005 bertajuk “The Making of A Hero” menuliskan bahwa setiap masyarakat membutuhkan pahlawan dan masyarakat itu sendiri sesungguhnya mempunyai pahlawan, hanya banyak orang melupakannya karena mereka terlalu sibuk mencari (Yudhoyono, 2005).
Sebagai generasi harapan sudah kewajiban pemuda-pemudi Indonesia untuk menjadi pahlawan bagi diri, keluarga, lingkungan, bangsa dan negara Indonesia. Menjadi pahlawan tidak perlu menjadi seorang yang sempurna dan dapat melakukan semua hal karena pengertian pahlawan sendiri secara leksikal hanyalah ungkapan tentang orang yang mempunyai sikap tegas dan berani (Gusmian, 2004). Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pahlawan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pahlawan adalah orang-orang biasa yang gagah berani dan rela berkorban demi kehidupan orang lain melalui gagasan yang dibelanya sebagai keyakinan akan sesuatu yang benar dan bermanfaat bagi orang banyak.
Pahlawan dibutuhkan di masa ini karena dalam sejarah, pekerjaan-pekerjaan besar hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Pahlawan dibutuhkan untuk mengangkat derajat Indonesia dari keterpurukan dan membangkitkan potensi yang ada hingga ke titik maksimal. Pahlawan dibutuhkan untuk mengubah tantangan menjadi peluang, kecemasan menjadi harapan, ketakutan menjadi keberanian, dan krisis menjadi berkah. Pahlawan dibutuhkan untuk menciptakan sebuah kehidupan yang terhormat dan berwibawa yang dilandasi keadilan dan dipenuhi kemakmuran. Oleh karena itu, sudah saatnya setiap orang Indonesia belajar untuk menjadi pahlawan masa kini.
Hal pertama yang diperlukan untuk menjadi pahlawan masa kini adalah sikap berani. Soekarno menjadi presiden pada usia 44 tahun, Soeharto memimpin gerilya ke kota Yogyakarta pada usia 26 tahun, Ali Sadikin menjadi gubernur pada usia 39 tahun. Mereka semua adalah pahlawan Indonesia pada masa mudanya. Apa yang menyebabkan keadaan seperti itu kini tak terjadi lagi? Mengapa kini, pada awal abad ke-21, sejumlah orang hanya berbisik di belakang, seakan-akan mendesakkan yang tak lumrah, memberitakan yang tak lazim tanpa melakukan apa pun?
Rupanya sesuatu terjadi, kini Indonesia berada dalam sebuah krisis dan lebih dari itu, kini Indonesia telah terbiasa gentar untuk krisis. Perlu sebuah keberanian untuk mendobrak rasa gentar itu, seperti yang ditunjukkan oleh RA Kartini. Ia adalah seorang yang cita-citanya luas terbentang tapi tubuhnya bagaikan sandera. Ia seorang yang tahu indahnya cakrawala Barat tapi seorang gadis pribumi yang selalu peka akan cemooh orang Belanda kepada ke”Barat”-annya. Tapi dunia tak akan lupa bahwa ia juga seorang yang berani. Ia dirikan sekolah untuk wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, ia tantang budaya patriarki. Andai Kartini gentar, menyimpan semua ide dan pemikirannya hanya dalam surat yang dikirimkannya kepada temannya, Rosa Abendanon maka Indonesia akan kehilangan salah satu pahlawan emansipasinya. Kisah lain mengenai keberanian berasal dari Sainah, seorang pembantu rumah tangga miskin yang berani bersaksi mengatakan kebenaran walapun dengan penuh risiko dalam pengadilan Tommy Soeharto (Gusmian, 2004).
Kesadaran akan keberanian bukan semata-mata lahir sebagai anugerah. Keberanian perlu dibangun dari dalam diri. Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun. Keberanian yang dimaksud pun tentu bukan sembarang berani, tapi keberanian yang bertumpu pada nilai seperti kata Goenawan Mohamad “Pahlawan bermula dengan menolak dan berangkat dari nilai”. Oleh karena itu, salah jika perampok, pembobol uang negara, penipu dana bank yang tentunya punya keberanian tinggi termasuk dalam klaim pahlawan karena mereka semua tidak bertolak dan berdasar kepada nilai yang ada. 
Hal kedua yang diperlukan untuk menjadi seorang pahlawan masa kini adalah sikap rela berkorban. Bhisma yang gugur bersandar pada puluhan anak panah yang mencoblosi tubuhnya. Monginsidi yang ditembak mati, atau pun Cut Nyak Dien yang terkurung di penjara hingga kematiannya adalah tokoh-tokoh yang dapat dijadikan sebagai contoh penerapan sikap rela berkorban. Keberanian tanpa sikap rela berkorban adalah sia-sia.
Seorang manusia yang begitu gagahnya hingga tidak menanggungkan suatu kesedihan apa pun, atau kebimbangan apa pun, atau bahkan pamrih apa pun, tak bisa disebut pernah berbuat heroik. Tindakan heorik mengandung pengorbanan diri sendiri yang sangat besar. Tindakan heroik adalah hasil pilihan yang pedih, antara “ya” atau “tidak”. Tanpa pilihan gawat itu, tindakan gagah yang mana pun akan keluar sebagai tindakan biasa saja, tanpa gundah hati, tanpa gelora, cuma otomatis. (Mohamad, 1987)
Pantang menyerah adalah hal ketiga yang diperlukan untuk menjadi pahlawan masa kini. Sebab pantang menyerah adalah napas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan. Ada banyak pahlawan yang tidak dapat mengakhiri hidupnya sebagai pahlawan karena mereka gagal menghadapi tantangan dan hadapan. Seorang pahlawan tidak akan pernah menyerah, Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan dalam bukunya, Prahara Budaya bahwa “Setiap pejuang bisa kalah dan terus menerus kalah tanpa kemenangan, dan kekalahan itulah gurunya yang terlalu mahal dibayarnya. Tetapi biarpun kalah, selama seseorang itu bisa dinamai pejuang dia tidak akan menyerah. Bahasa Indonesia cukup kaya untuk membedakan kalah daripada menyerah”
Sikap nyata berupa tindakan juga diperlukan untuk menjadi pahlawan. Seperti dicontohkan oleh Butet Manurung yang memiliki tujuan hampir mustahil: pemberantasan buta huruf di kalangan suku-suku terasing dari hutan Sumatera. Ia tahu mereka tidak akan datang kepadanya, maka ia yang datang menemui mereka jauh ke dalam hutan. Awalnya, ia ditolak oleh suku-suku tersebut. Namun ketetapan hatinya membuat suku-suku tersebut menjadi percaya padanya, ia dapat mengajar membaca dan menulis, hidup di antara mereka seolah-olah ia adalah bagian dari suku tersebut. Selain Butet, banyak orang yang melakukan tindakan tak terhitung banyaknya untuk ibu pertiwi ini.
Semua hal dan tindakan itulah yang diperlukan untuk menjadi seorang pahlawan di masa kini. Seorang pahlawan di masa kini  tidak dituntut untuk menang dalam perang dengan mengandalkan otot dan kekuatan fisik untuk mengusir penjajah. Pahlawan masa kini harus lebih cerdas karena masih banyak masalah di Indonesia yang belum terpecahkan. Menjadi relawan untuk mengajar mereka yang buta huruf, menyumbangkan sedikit makanan dan pakaian kepada mereka yang kurang mampu, belajar yang giat untuk kemajuan bangsa dan negara, dan melakukan hal-hal lain yang bertujuan kepada kebaikan orang banyak merupakan deskripsi pahlawan masa kini yang dibutuhkan.
Sebuah kehidupan yang terhormat dan berwibawa yang di landasi keadilan dan dipenuhi kemakmuran masih mungkin dibangun di negeri ini. Untaian zamrud khatulistiwa masih mungkin dirajut menjadi kalung sejarah yang indah di negeri ini. Tidak peduli seberapa berat krisis yang menimpa. Tidak peduli seberapa banyak mendung, hujan bahkan petir yang menggelayuti bangsa ini. Masih mungkin dengan satu kata: para pahlawan. Para pahlawan yang berani mati demi perdamaian sejati. Pahlawan yang mau sejenak melangkah mundur dari jerat konflik internal dan memasuki arena pertempuran yang sesungguhnya. Pahlawan yang akan bertempur tanpa imbalan jasa dan pengakuan apa-apa. Pahlawan sejati yang tidak hanya berfungsi sebagai simbol bagi individu yang berjasa secara tindakan. Pahlawan yang tidak ditunggu tapi diciptakan.




DAFTAR PUSTAKA


Gusmian, I. (2004). Pantat Bangsaku: Melawan Lupa di Negeri Para Tersangka. Yogyakarta: Galang Press.
Matta, A. (2003). Mencari Pahlawan Indonesia. Jakarta: The Tarbawi Center.
Mohamad, G. (1987, Desember 12). Keramat. Jakarta.
Yudhoyono, S. B. (2005, Oktober 10). The Making of A Hero. Diambil kembali dari Time World: http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2054335,00.html



Rabu, 09 April 2014

Susahnya Menjadi Orang Bodoh

Sebuah ide membakar pikiran saya berhari-hari.
Apa gerangan yang membuat seseorang harus menjadi pintar? Apa yang sesungguhnya terjadi ketika seseorang memutuskan ingin jadi bodoh? Apa yang dicari seorang “pintar” di dunia ini? Dinamika apa yang sebenarnya terjadi antara bodoh, orang bodoh, dan semesta raya? Memikirkan hal-hal tersebut membuat saya menapak tilas tentang kehidupan saya.

Suatu hari,
            Seorang sahabat saya di Perguruan Tinggi berkata “Tau gak yang menarik dari elu apa? Elu berani banget nyoba-nyoba, berkali-kali gagal tapi nyoba lagi. Entah elu bodoh atau pantang menyerah”
            Saya yang ditanya tentu saja hanya bisa tersenyum-senyum sendiri dan baru sekarang saya tahu apa maksud perkataan tersebut. Menjadi bodoh itu susah, makanya saya pantang menyerah hingga keliatan bodoh karena menjadi bodoh itu butuh banyak pengorbanan. Maka, karena menjadi bodoh dan pintar sama-sama membutuhkan pengorbanan, saya lebih memilih berjuang untuk menjadi pintar.
Jangan pikir bahwa kalimat tersebut datang dalam sekelabat waktu. Saya butuh bertahun-tahun dari hidup singkat yang Tuhan berikan untuk mencapai kesimpulan tersebut. Karena saya ingin orang lain lebih cepat sadar akan hal ini, maka saya menulis kisah ini. Kisah ini adalah pengalaman saya, mungkin orang lain akan belajar sesuatu dari hal ini sehingga di kemudian hari, ia pun dapat membagi pengalamannya juga kepada saya dan yang lainnya. Ini timbal balik yang begitu indah bukan?
***
            Lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang cukup bergengsi dan masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diremehkan telah membuat saya banyak diremehkan teman-teman saya.
“Kejauhan sel kalau SMA di sana dan mahal ongkosnya entar” begitulah alasan orang tua saya yang sudah menjelaskan bahwa tidak ada pilihan lain selain menerima keadaan.
            Malu jelas saya alami karena di saat teman-teman saya bersekolah di Sekolah A yang banyak artisnya, di Sekolah B yang banyak orang-orang pintarnya, saya hanya bisa bersekolah di sekolah yang bahkan tidak mempunyai ruang aula untuk kegiatan-kegiatan sekolah. Dan hal terburuk yang saya citrakan pada diri saya adalah saya bodoh dan mulai menjadi orang buangan.
            Saya mulai merasakan kebingungan dan ketakutan bahkan muak setengah mati dengan hidup saya. Saya mulai untuk malas belajar, malas bersekolah, bahkan malas berpikir. Jujur sebenarnya saya tidak sebodoh itu sebelumnya, saya adalah salah satu siswa berprestasi di SMP saya dulu. Tapi semua pemikiran ini membuat saya bodoh dan saya benar-benar menjadi bodoh. Nilai-nilai rapot saya menurun drastis, jika dahulu nilai matematika saya selalu di atas 9, di SMA nilai matematika saya bahkan tak pernah mencapai nilai 7, selalu di bawahnya. Kemampuan berbahasa saya yang dahulu fasih pun menjadi kaku, lama tidak digunakan.
            Akhirnya saya benar-benar percaya bahwa saya bodoh. Saya tidak secure  lagi dengan kecerdasan saya. Ini bukan fase terparah dalam hidup saya. Karena setelah pembagian rapot tersebut, mulailah banyak orang yang menyebut saya bodoh, dari teman sampai bahkan guru. Yang tidak pernah dan sangat menjaga mulutnya dari mengatakan saya bodoh, adalah orang tua saya.
            Ayah saya yang jago hukum dan bahasa hanya bisa terdiam ketika melihat anaknya mendapat angka 5 di rapot untuk Bahasa Jepang. Ibu bahkan kalau kekesalannya memuncak atas kelakuan saya, paling ekstrim mengucap  bodoh dengan kata tidak pintar.
“Sell, ko gitu sih? Jangan jadi orang tidak pintar dong nak”
            Tapi sialnya, dulu dalam sehari, saya lebih sering bertemu guru dan teman  daripada orang tua dan ucapan mereka bahwa saya bodoh, meresap ke benak dan bawah sadar. Dan karena saya minder dengan kecerdasan saya, saya mudah tersinggung ketika disebut salah, ketika gagal, ketika kalah. Tersinggung karena seakan semua itu pertanda bahwa saya (benar) bodoh.
Akhirnya, saya menemukan titik balik dalam kehidupan saya. Melalui OSIS, hidup saya mulai bertransformasi, tentu ke arah yang lebih baik. Di sana, di keluarga baru saya, saya melihat banyak orang hebat. Okky yang begitu diremehkan karena kekanakan pada saat berkumpul bersama teman-temannya, menjadi dewasa luar biasa ketika dipercaya menjadi Wakil Ketua OSIS. Ainun yang menangis berkali-kali karena proposal-proposalnya dicoret-coret Pak Pur karena salah, toh tetap terus membuat ulang proposal-proposalnya walaupun semalaman ia tidak tidur untuk mengerjakan proposal itu. Ataupun Jessica yang menjadi apa adanya dalam keadaan ada apanya sekalipun. Mereka semua menerima hidup mereka dan bersyukur atas apa yang mereka dapatkan.
Saya belajar dari mereka dan inilah yang tidak pernah diajarkan oleh sekolah. Saya terlalu lama hidup di dalam kebencian atas hal-hal yang tidak saya inginkan: saya membenci bersekolah di sekolah yang orang tua saya inginkan, membenci teman-teman saya yang hidup lebih baik, bahkan membenci takdir-takdir Tuhan untuk saya. Membenci membuat saya marah dan frustasi. Membenci juga membuat saya mengutuk, mencaci dan tidak ingin tahu apa yang terjadi. Pada akhirnya ketidaktahuan membuat saya merasa bodoh, dan percayalah, bahkan orang bodoh pun tidak suka merasa bodoh.
Saya mengalami benar kalimat terakhir dari paragraf di atas. Menjadi bodoh berarti harus menjadi orang terakhir yang dipercaya guru untuk mengikuti seleksi lomba dan kadang tidak diikutkan karena anggarannya lebih digunakan untuk orang-orang yang lebih pintar daripada saya. Menjadi bodoh menyempitkan pergaulan saya. Dahulu, ada peribahasa yang mengatakan bahwa bergaullah dengan tukang parfum maka anda akan berbau parfum dan akibatnya teman-teman yang merasa lebih pintar dari saya lebih memilih bergaul dengan orang-orang pintar lainnya karena ingin tertular pintar daripada bergaul dengan saya, takut akan membawa pengaruh negatif bagi mereka katanya. Andai mereka tahu, bahwa bodoh bukanlah penyakit dan tidak akan menulari mereka.
Akhirnya karena bosan menjadi orang bodoh dan mempunyai teman-teman OSIS yang pantang menyerah, saya mulai berubah. Pencapaian. Itulah kuncinya. Saya mulai memetakan tujuan hidup dan mencapainya satu per satu.
Saya berjuang untuk memperbaiki masa SMA saya. Saya belajar giat hingga malam buta demi perbaikan nilai-nilai saya, saya ikuti semua kompetisi yang bisa saya ikuti, saya memberanikan diri untuk menjadi calon Ketua OSIS. Tidak peduli berapa banyak orang yang menghina, merendahkan, dan tidak melihat perjuangan saya. Saya tidak akan menyerah.
I know who i am. I am not what they say.” Kata-kata itulah yang selalu saya katakan ketika keadaan tidak menyenangkan bagi saya.
Sedikit demi sedikit, pencapaian yang saya lakukan menambah kepercayaan diri saya. Kegagalan adalah teman setia saya dalam proses pencapaian tersebut. Yah, saya memang seringkali gagal tapi saya terlalu ingin sukses, untuk membiarkan ketakutan membuat saya gagal sehingga saya terus berusaha. Dulu, saya begitu takut gagal karena takut dibilang bodoh (lagi). ‘Daripada keliatan jelek mendingan gak usah dilakuin. Daripada hasilnya enggak maksimal mendingan kerjain yang lain. Daripada sakit mendingan hindarin. Daripada ... mendingan ...’  selalu ada kata-kata yang dapat saya padankan untuk mengisi kalimat tersebut yang akhirnya selalu membuat saya batal untuk maju pada zaman saya SMA. Saya menyerah sebelum memulai. Padahal kalau dipikir-pikir, gagal itu apa sih? Cuma sebuah keadaan dimana manusia terbentur oleh kekurangannya dan dihadapkan pada dua pilihan: berhenti atau coba lagi. Tapi  karena cap bodoh yang begitu melekat pada saya akhirnya saya memilih untuk berhenti.
Kini, saya tidak khawatir disebut bodoh, karena saya tahu persis saya tidak bodoh dan Tuhan terlalu baik sehingga tidak mungkin Ia memberikan kebodohan pada umat-Nya. Orang bisa berkata apapun tentang saya, dan saya tidak akan tersinggung. Saya menganggap bahwa kritik dari mereka adalah pembangun untuk saya.
Saya juga tidak mau menjadi orang bodoh lagi karena menjadi bodoh itu susah. Butuh banyak pengorbanan dan ketika saya mulai takut mencoba sesuatu maka saya mengingat kalimat di bawah ini;
“Kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua”

Semoga bermanfaat
     ~Fraudulent.    




Rabu, 22 Januari 2014

In The Wee of Small Hours



In the Wee of Small Hours

                Ah, kamu pergi. Aku benci pada kamu yang pergi.  Aku benci di musim apa kita mesti berpisah tanpa membungkukan selamat jalan.  Aku benci berjalan sendiri mengikuti bayang-bayang yang memanjang di depan . Merenung sendiri dari balik jendela yang berembun.

                Iya KAMU! Kamu yang tidak bertengkar dengan waktu tentang siapa di antara kita yang menciptakan perpisahan. Kamu dan perpisahan yang tidak bertengkar  tentang siapa di antara kita yang menciptakan bayang. Kamu yang pernah datang dalam hidupku, mengajari aku banyak hal. Kamu yang dalam waktu singkat kukenal dan dalam waktu yang lama…masih kuingat

                Jika mengenal bulan harus menjadi bintang. Mengenal benua harus menjadi samudera. Mengenal pasir harus menjadi debu. Mengenal sinar harus menjadi berkas. Mengenalmu harus menjadi aku.

Aku mengenalmu dengan hebat.  Membuat seakan-akan aku telah berkenalan dengan dunia ini. Membuat alam terasa terkadang akrab, terkadang ganjil, terkadang menantang, terkadang membujuk.

Kini, ma(mp)ukah aku setelah menghabiskan separuh tawa, tangis, rindu, dan sakit denganmu . Menjadi dewasa bersamamu. Pada akhirnya, tiba di hari yang tiba-tiba. Pada hari yang tiba-tiba ada jarak antara aku, kamu, dan kata. Pada hari yang tiba-tiba engkau pun lengkap menerimanya dengan ikhlas. Ketika bertemu. Aku takut. Hanya bisa diam karena tak ada lagi yang bisa diceritakan. Tersenyum pura-pura dan menebak-nebak, selalu menebak-nebak.

But In the Wee of Small Hours, I believe you. Always.
          Jangan pejamkan matamu ya: aku ingin tinggal di hatimu yang teduh.               

Dari aku
Untuk kamu yang mendinginkan mataku

Selasa, 21 Januari 2014

Orang yang Kupilih

 Untuk satu nama. Yang tengah aku pendam dalam-dalam. Semoga kau datang bukan hanya untuk menepi. Datanglah untuk menetap



"My brain tells me it will be better to just let him go.
But my heart... not so much.” 


  Kepadamu, hati. Bersabarlah.
 Kamu harus mengerti, pembicaraan yang selalu berakhir ambigu ini. Aku dan dia memang harus seperti ini keadaannya. Aku tahu kamu lelah, begitu pun aku. Tapi aku wanita, tak ada yang bisa aku lakukan selain meyakinkan bahwa aku dan dia sekarang atau setidaknya dahulu pernah terikat pada satu hati.
Bersabarlah karena terkadang hati tumbuh dengan cara yang amat ganjil dan di tempat yang tak pernah disangka. Andai aku bisa membuat pilihan tapi sayangnya cinta tak pernah memilih, cinta selalu menemukan tempatnya sendiri untuk menetap.
Maka, kepadamu hati. Tetaplah untuk selalu dan senantiasa bersabar, harus.

Kepadamu, pria. Mengertilah.
Lamaku tunggu kata-kata, yang merangkul semua. Dan kini ku harap ku dimengerti. Walau sekali saja. Mengertilah bahwa aku menunggu. Mengertilah bahwa menunggu adalah pekerjaan yang (sangat) membosankan. Mengertilah bahwa menunggu dalam hampa bisa menyakitkan. Seharusnya, ya seharusnya hampa berarti tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa berarti tidak ada masalah. Termasuk rasa sakit.
Tapi ternyata sakit
Tapi ternyata aku tetap melakukannya. 
Bahkan ketika yang ditunggu berkali-kali tidak muncul, bahkan ketika situasi berganti menyebalkan, bahkan ketika orang lain sudah mengambil jalan lain, aku tetap melakukan hal yang sama: menunggu.
Terakhir mengertilah tentang kamu, tentang aku, tentang kita. Setiap saat. Dari waktu ke waktu. Karena ternyata mencintai tak cukup hanya sekali bagiku. Ini ku lalui, aku mencintai, bukan hanya dari mata jatuh ke hati, tapi caramu yang selalu menganggap aku berarti.
          Maka, kepadamu pria. Tetaplah untuk selalu dan senantiasa ada disampingku, mengertilah. 
          Dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.


Ini untuk kamu.
Bukan untuk 2 orang yang mendekati. Apalagi anak SMA itu.