Senin, 14 Juli 2014

GAZA

    
Aku tengah berjalan di belakang dua orang teman. Matahari turun di punggung sebuah bukit yang menjulang melatari Gaza. Kurasakan selintas rasa sedih; langit itu mendadak berubah merah darah. Aku berdiri di sana gemetar oleh rasa takut, dan kurasakan jerit dahsyat yang tak henti-hentinya: menembus jalan penuh mayat yang terbentang tak putus-putusnya.
***
Saat itu, sekitar pukul empat sore, separuh langit Gaza gelap, hal yang sangat jarang terjadi–seakan-akan persiapan adegan terakhir kota ini tengah dilakukan. Terdengar suara ledakan-ledakan bom yang terus bergemuruh. Inilah Gaza, kotaku yang bukan kotaku lagi.
Jika kota ini runtuh, pelan-pelan, dan tentara mengepungnya selama berhari-hari datang sebagai pengrusak yang dingin dan ganas, kota ini hanya akan jadi sebuah cerita tentang negeri yang dihabisi oleh kekuatan jahat sesama saudaranya. Jika kota ini runtuh, aku tak tahu bagaimana akan bertindak setelah ini. Hidup dengan keadaan setengah runtuh saja sudah memeras semua daya dan keringat. Aku tentu tak ingin pula menjadi bagian dari keruntuhan kota ini. Aku ingin hidup dan bahagia. Jika kota ini runtuh, adakah yang membangunnya kembali atau meninggalkan semuanya? Aku mengimajinasikan semua proses itu. Ya, yang abadi memang tak akan di sini.
Di kota ini, aku, Rani Hammad, begitu orang-orang memanggilku, sudah hidup dan berkembang selama 15 tahun. Di kota ini juga, tempat ayahku menutup mata untuk terakhir kalinya , ayah mati syahid di daerah konflik. Semula kupikir hal itu sulit dan memang itu sulit. Tapi bukankah selalu ada yang pergi di kota ini? Seakan kematian bukanlah momen luar biasa bagi yang tak bisa kembali, tapi akhirnya, kematian di kotaku adalah peristiwa yang tak istimewa bagi dunia. Seseorang pernah selalu ada di sana, selalu ada di sini, kemudian tiba-tiba lenyap dan terus-menerus lenyap. Aku sedang tidak berhiperbolik teman, tapi lihatlah di kotaku setiap hari ada mayat yang betebaran di jalan bahkan terkadang ia membusuk sebelum sempat dikuburkan.
Semua rasanya memang terlalu rumit untuk dimaki atau ditangisi. Apalagi kini setelah rudal itu mengenai rumah kami. Semuanya hangus terbakar, menjadi hitam dan berbau gas. Dan kami, harus membuang semuanya ke tempat sampah. Semua menjadi tak berharga. Kursi, meja, televisi, tempat tidur semua harus dibuang ke tempat sampah. Mereka juga membakar mainan kesayanganku padahal itu adalah hadiah terakhir dari ayah.
Kata ibu aku harus tetap membuangnya karena itu telah berbau gas dan akan menyebabkan aku mati jika aku menciumnya. Baju-baju kami pun tidak luput dari gas. Kami pun akhirnya meminta baju dari tetangga kami. Andai ayah masih hidup ayah pasti akan marah besar kepada kami. Tapi kami tidak bisa melakukan apapun untuk makan saja kami sangat susah. Padahal kata orang, negeri Timur kaya akan minyak dan gas tapi mengapa itu adalah hal yang mahal bagi kami.
Terkadang waktu ibu pergi meninggalkanku sendiri aku bersembunyi di bawah tempat tidur. Aku takut seketika tentara-tentara jahat itu datang dan merusak benda-benda milikku lagi. Walaupun sebenarnya tak ada lagi benda di rumahku yang bisa disebut berharga. Setidaknya bagiku sendiri, foto di ruang keluarga kami adalah hal dan benda termahal yang pernah kumiliki. Itu adalah foto ayah ketika ayah kritis. Ayah tampak tampan di foto itu dengan riasan warna biru memar di pipi, jahitan di kepala dan dua lubang peluru di dadanya. Kalian jangan berpikir kalau aku atau ibuku yang mengambil gambar itu, itu kami dapat dari seorang wartawan. Dia baik sekali denganku. Aku telah menganggapnya sebagai kakak, tapi kini aku tak tahu dimana dia. Kabarnya dia disekap oleh tentara-tentara itu tapi aku yakin dia masih bisa bertahan. Dia bukan orang yang lemah.
Sekarang aku bingung ingin bercerita kepada siapa lagi. Andai teman-temanku ada di sampingku kembali mungkin ini akan lebih mudah. Andai mereka punya sedikit keberanian untuk keluar, bermain dan berbicara padaku. Andai tentara itu tidak datang dan membuat gangguan mental pada diri teman-temanku. Andai semua ini bukan perandaian.
Teman, aku yakin, kamu pasti ingin datang ke kotaku dan menjadi temanku. Meski begitu, aku sadar tak ada kapal atau kereta yang bisa mengantarmu langsung ke kotaku. Kata sebagian orang, jalan ke kotaku adalah jalan maut. Jalan labirin, kata sebagian yang lain. Entahlah. Mungkin kotaku telah berada dalam perut paus atau terkubur dalam perut bumi, atau masih dalam genggaman monster warna-warni, juga tak ada yang tahu. Aku hanya bingung menjelaskan bagaimana kamu bisa masuk dan keluar ke kotaku sedangkan aku tak pernah bisa untuk keluar dari sini.  Bagi kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa.
Kalaupun pada suatu saat nanti kotaku runtuh dan tak ditemukan, maka kenanglah kotaku seperti dalam suara keras hatiku di bait terakhir: ”Dulu di sini, ada sebuah kedamaian”.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar