Aku tengah berjalan di belakang dua orang teman.
Matahari turun di punggung sebuah bukit yang menjulang melatari Gaza. Kurasakan
selintas rasa sedih; langit itu mendadak berubah merah darah. Aku berdiri di
sana gemetar oleh rasa takut, dan kurasakan jerit dahsyat yang tak
henti-hentinya: menembus jalan penuh mayat yang terbentang tak putus-putusnya.
***
Saat itu, sekitar pukul empat sore, separuh langit
Gaza gelap, hal yang sangat jarang terjadi–seakan-akan persiapan adegan
terakhir kota ini tengah dilakukan. Terdengar suara ledakan-ledakan bom yang
terus bergemuruh. Inilah Gaza, kotaku yang bukan kotaku lagi.
Jika kota ini runtuh, pelan-pelan, dan tentara
mengepungnya selama berhari-hari datang sebagai pengrusak yang dingin dan ganas,
kota ini hanya akan jadi sebuah cerita tentang negeri yang dihabisi oleh
kekuatan jahat sesama saudaranya. Jika kota ini runtuh, aku tak tahu bagaimana
akan bertindak setelah ini. Hidup dengan keadaan setengah runtuh saja sudah
memeras semua daya dan keringat. Aku tentu tak ingin pula menjadi bagian dari
keruntuhan kota ini. Aku ingin hidup dan
bahagia. Jika kota ini runtuh, adakah yang membangunnya kembali atau
meninggalkan semuanya? Aku mengimajinasikan semua proses itu. Ya, yang abadi
memang tak akan di sini.
Di kota ini, aku, Rani Hammad, begitu orang-orang
memanggilku, sudah hidup dan berkembang selama 15 tahun. Di kota ini juga, tempat
ayahku menutup mata untuk terakhir kalinya , ayah mati syahid di daerah konflik. Semula kupikir hal itu
sulit dan memang itu sulit. Tapi bukankah selalu ada yang pergi di kota ini?
Seakan kematian bukanlah momen luar biasa bagi yang tak bisa kembali, tapi
akhirnya, kematian di kotaku adalah peristiwa yang tak istimewa bagi dunia.
Seseorang pernah selalu ada di sana, selalu ada di sini, kemudian tiba-tiba
lenyap dan terus-menerus lenyap. Aku sedang tidak berhiperbolik teman, tapi
lihatlah di kotaku setiap hari ada mayat yang betebaran di jalan bahkan
terkadang ia membusuk sebelum sempat dikuburkan.
Semua rasanya memang terlalu rumit untuk dimaki atau
ditangisi.
Apalagi kini setelah rudal itu mengenai rumah kami. Semuanya hangus terbakar,
menjadi hitam dan berbau gas. Dan kami, harus membuang semuanya ke tempat
sampah. Semua menjadi tak berharga. Kursi, meja, televisi, tempat tidur semua
harus dibuang ke tempat sampah. Mereka juga membakar mainan kesayanganku
padahal itu adalah hadiah terakhir dari ayah.
Kata ibu aku harus tetap
membuangnya karena itu telah berbau gas dan akan menyebabkan aku mati jika aku
menciumnya. Baju-baju kami pun tidak luput dari gas. Kami pun akhirnya meminta
baju dari tetangga kami. Andai ayah masih hidup ayah pasti akan marah besar
kepada kami. Tapi kami tidak bisa melakukan apapun untuk makan saja kami sangat
susah. Padahal kata orang, negeri Timur kaya akan minyak dan gas tapi mengapa
itu adalah hal yang mahal bagi kami.
Terkadang waktu ibu pergi
meninggalkanku sendiri aku bersembunyi di bawah tempat tidur. Aku takut
seketika tentara-tentara jahat itu datang dan merusak benda-benda milikku lagi.
Walaupun sebenarnya tak ada lagi benda di rumahku yang bisa disebut berharga.
Setidaknya bagiku sendiri, foto di ruang keluarga kami adalah hal dan benda
termahal yang pernah kumiliki. Itu adalah foto ayah ketika ayah kritis. Ayah
tampak tampan di foto itu dengan riasan warna biru memar di pipi, jahitan di
kepala dan dua lubang peluru di dadanya. Kalian jangan berpikir kalau aku atau
ibuku yang mengambil gambar itu, itu kami dapat dari seorang wartawan. Dia baik
sekali denganku. Aku telah menganggapnya sebagai kakak, tapi kini aku tak tahu
dimana dia. Kabarnya dia disekap oleh tentara-tentara itu tapi aku yakin dia
masih bisa bertahan. Dia bukan orang yang lemah.
Sekarang aku bingung ingin
bercerita kepada siapa lagi. Andai teman-temanku ada di sampingku kembali
mungkin ini akan lebih mudah. Andai mereka punya sedikit keberanian untuk
keluar, bermain dan berbicara padaku. Andai tentara itu tidak datang dan
membuat gangguan mental pada diri teman-temanku. Andai semua ini bukan
perandaian.
Teman, aku yakin, kamu pasti ingin datang ke kotaku
dan menjadi temanku. Meski begitu, aku sadar tak ada kapal atau kereta yang
bisa mengantarmu langsung ke kotaku. Kata sebagian orang, jalan ke kotaku
adalah jalan maut. Jalan labirin, kata sebagian yang lain. Entahlah. Mungkin
kotaku telah berada dalam perut paus atau terkubur dalam perut bumi, atau masih
dalam genggaman monster warna-warni, juga tak ada yang tahu. Aku hanya bingung
menjelaskan bagaimana kamu bisa masuk dan keluar ke kotaku sedangkan aku tak
pernah bisa untuk keluar dari sini. Bagi
kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain,
selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa.
Kalaupun pada suatu saat nanti kotaku runtuh dan tak
ditemukan, maka kenanglah kotaku seperti dalam suara keras hatiku di bait terakhir:
”Dulu di sini, ada sebuah kedamaian”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar