Selasa, 03 Februari 2015

Merajut Kembali Mozaik Kebhinnekaan Melalui Sumpah Pemuda



Merajut Kembali Mozaik Kebhinnekaan Melalui Sumpah Pemuda



“Menjadi merdeka bukanlah semata-mata melempar jauh-jauh rantai
Yang membelenggu diri sendiri. Menjadi merdeka berarti hidup dengan menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain.”
(Nelson Mandela, Long Walk To Freedom)

            Sudah 69 tahun Indonesia merdeka. Namun, isu-isu SARA selalu hadir mewarnai negeri kita tercinta. Kutipan di atas adalah catatan Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, sebuah negeri yang, jika dapat dibandingkan, nasibnya pun tidak jauh beda dengan Indonesia.
            Kenyataan sejarah menunjukkan bangsa Indonesia terbentuk tidak lain karena adanya kesadaran untuk membentuk suatu ikatan atas cita-cita bersama. Ide menyatukan diri sebagai sebuah bangsa dicetuskan dalam Sumpah Pemuda. Hal ini menjadi cikal bakal terwujudnya satu tujuan bersama yaitu Indonesia yang berdaulat dan merdeka. Para founding fathers menyadari bahwa diperlukan dengan cepat sebuah upaya pengintegrasian Indonesia yang keadaannya sangat beragam. Dengan dasar inilah, negara Indonesia yang baru merdeka kemudian mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan bangsa dan kewarganegaraan. Itulah sebabnya Bhinneka Tunggal Ika diciptakan menjadi simbol pemersatu Indonesia.
Mozaik Keanekaragaman di Bumi Indonesia
Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 13.000 pulau, membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing pulau dihuni oleh kelompok masyarakat yang memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda-beda, mulai dari masalah budaya, bahasa, suku bangsa, dan agama. Bahkan, Clifford Geertz menyebut Indonesia sedemikian kompleksnya sehingga rumit untuk menentukan anatominya secara persis.
            Keragaman suku bangsa, seni, budaya, agama, dan bahasa telah membentuk Indonesia menjadi negara dengan struktur sosial yang multikultural. Hal tersebut telah disadari oleh para pendiri bangsa ini, bahwa keragaman bagi bangsa Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan. Karenanya, untuk tetap menjaga kerukunan nasional, mereka menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan persatuan. Bhinneka Tunggal Ika sendiri bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia, karena jauh berabad-abad sebelumnya kalimat ini juga digunakan untuk menggambarkan ide persatuan antara berbagai ras dan kepercayaan di Nusantara dalam kekuasaan Majapahit. Perbedaan tidak lagi dipahami sebagai alasan adanya permusuhan, namun dijadikan modal untuk membangun bangsa dengan spirit persatuan.
            Namun dalam perkembangannya, rasa keindonesiaan mulai mengalami reduksi akibat semakin kompleksnya permasalahan bangsa. Keanekaragaman tidak lagi menjadi sebuah kebanggaan, tetapi justru menjadi pemicu konflik dan permusuhan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi bahan ajaran bagi anak sekolah, tak pernah dipraktikkan dalam dunia nyata. Media massa tak henti-hentinya memberitakan konflik dan perselisihan, yang ujung-ujungnya akan tetap sama, karena ada motif perbedaan. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, jumlah konflik sosial pada tahun 2010 sebanyak 93 kasus, kemudian menurun  pada 2011 menjadi 77 kasus, namun data sampai pertengahan Agustus tahun 2012 meningkat lagi menjadi 89 kasus. Isu-isu keadilan, pemerataan kesejahteraan, keadilan dalam narasi sejarah, dan lain sebagainya, menjadi pemicu hadirnya gerakan-gerakan  yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
            Hal tersebut sudah menjadi bukti, bahwa semboyan persatuan Bhinneka Tunggal Ika masih belum dapat diwujudkan secara nyata. Inilah tantangan besar masa depan bangsa. Bagaimana caranya bangsa Indonesia yang plural dapat menjaga persatuan dan kerukunan nasional. Untuk menjawa persoalan tersebut, konsep multikulturalisme dapat kita jadikan pijakan awal.
Prahara Perbedaan: Isu Disintegrasi Bangsa
Perasaan sebagai sebuah bangsa merupakan suatu persoalan. Perasaan itu dapat menjadi tidak penting di suatu saat, namun dapat secara tiba-tiba dirasa penting di suatu saat, namun dapat secara tiba-tiba dirasa penting pada saat yang lain. Rasa berbangsa itu juga bersifat abstrak. Abstrak atau hanya imajinasilah rasa keindonesiaan ini ada dan berkembang. Hal ini disebabkan karena rasa tidak mengenal antara satu orang atau etnis dengan orang lain atau etnis lain. Persatuan orang-orang yang berbeda ini hanya sebatas gagasan, mimpi dan cita-cita yang sama dan dengan itu mereka menghidupkan bayangan tentang kebersamaan dalam benak mereka masing-masing. Abstraknya rasa kebangsaan itu yang kemudian menjadikan rasa berbangsa ini bukanlah sesuatu yang telah selesai, akan tetapi akan terus menerus hidup dan berproses dalam pergulatan kehidupan manusia Indonesia.
            Kasus lain yang terjadi baru-baru ini adalah munculnya konflik kelompok muslim Syi’ah dengan Sunni di Madura pada tahun 2012 lalu. Pada dasarnya, agama adalah pegangan untuk membimbing manusia pada kedamaian dunia dan akhirat, bukan sesuatu untuk dituhankan. Kesalahan interpretasi ini yang kemudian berujung pada disintegrasi. Agama tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mempersatukan namun sebagai pemisah dengan golongan-golongan lain. Konflik perbedaan dua pandangan beragama di Sampang ini salah satunya dipicu oleh tingginya fanatik terhadap suatu agama dan adanya provokasi. Lalu bagaimana masa depan Indonesia jika gesekan ini dibiarkan terjadi? Adakah solusi yang tepat untuk mengatasi konflik antar kelompok?
            Sebagai sebuah bangsa yang majemuk atau plural tentulah akan mengalami guncangan karena masalah perpecahan atau konflik horisontal. Isu-isu separatisme yang terjadi di Maluku, Aceh dan Papua, cukup menggambarkan betapa rentannya keberlangsungan bangsa Indonesia. Permasalahan tersebut cukup membuat pemerintah kewalahan dalam menanganinya.
            Keanekaragaman atau kemajemukan ini memiliki dua sisi yang tak dapat dipisahkan yakni anugerah sekaligus kutukan. Anugerah itu dapat berupa kekayaan budaya dan adat istiadat yang kita miliki memberikan segudang ilmu pengetahuan dan pengakuan bahwa betapa besarnya bangsa ini. Di satu sisi, kutukan mengancam dengan menjelma menjadi konflik berdarah antaretnis, agama maupun ras yang tak sedikit menelan korban jiwa. Hal inilah yang kemudian membuktikan bahwa bangsa ini memiliki proses perkembangan yang begitu kompleks permasalahannya.
            Harapan untuk terus bersama dan relevansi untuk terus menjadi bangsa yang satu tentu harus terus dipertahankan. Pergeseran arah imajinasi kebangsaan ini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan agar rasa kebangsaan menjadi relevan dan aktual. Mengurai memori masa lalu untuk menina-bobokan masyarakat dengan kisah atau hikayat lama menjadi tidak cukup lagi. Maka diperlukan pergeseran paradigma untuk memperbaharui ke-indonesia-an kita.
Tantangan Multikulturalisme ke Depan: Sebuah Solusi?
Dalam prakteknya, nasionalisme di Indonesia tidak mampu menangani permasalahan yang kompleks mengenai entitas, identitas, dan integritas. Kemajemukan Indonesia perlu ditangani lebih serius untuk membentuk Indonesia yang sejahtera dan maju. Sebagai paham baru, multikulturalisme diperkenalkan untuk menawarkan solusi yang efektif. Namun, hal ini juga perlu mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat sebagai sebuah konsep, multikulturalisme mengedepankan  penghargaan atas budaya-budaya lain dan pembinaan moral pada masyarakat. Konflik-konflik yang terjadi pada umumnya melibatkan lapisan paling bawah yang kurang tersentuh oleh kebijakan pemerintah. Memang kebijakan pemerintah yang baik berguna bagi seluruh masyarakat Indonesia, namun seringkali disalahgunakan oleh elite-elite tertentu sehingga golongan minoritas terabaikan.
Belajar dari sejarah, nation building hanya menekankan peran sentral negara. Kesadaran kebangsaan Indonesia pada dasarnya harus dikaitkan dengan keberagaman sebagai salah satu nilai dasarnya. Walaupun paham multikultur menekankan perlunya menghargai keanekaragaman budaya, harus terus-menerus dikaji dan direvitalisasi agar terhindar dari etnosentrisme, eksklusivisme, dan fanatisme. Dalam pengimplementasiannya, tujuan dari multikulturalisme yang demokratis bukan untuk menghilangkan para lakon dari ranah publik melainkan untuk mengusahakan dimasukkannya kelompok-kelompok marjinal dan tidak diuntungkan.
Mengembalikan Kesempatan yang Hilang: Penguatan Nilai Multikulturalisme Melalui Sumpah Pemuda
Peristiwa Sumpah Pemuda, 86 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, sebagai salah satu bukti peranan pemuda yang sangat luar biasa dalam menciptakan paradigma baru mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan. Momentum bersejarah tersebut merupakan tekad pemuda-pemuda dari berbagai daerah untuk melebur menjadi satu sebagai pemuda Indonesia dengan ikrar satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.
            Peristiwa Kongres Sumpah Pemuda terdiri dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Roekoen, PPPI, Pemoeda Kaoem Betawi, Pemuda Tionghoa, dan lain-lain. Bayangkan, bagaimana puluhan atau ratusan pemuda yang saling tidak mengenal atau mengenal hanya melalui surat menyurat yang boleh jadi secara sembunyi-sembunyi karena di sensor pihak penjajah tiba-tiba berkongres dan kemudian membuahkan sebuah raison d’etre, sebuah pernyataan untuk bersatu. Mereka datang dengan bahasa ibu yang berbeda-beda, yang satu boleh jadi sehari-hari berbahasa Jawa, satunya berbahasa Ambon, atau mungkin satunya berbahasa Sunda. Agama mereka boleh jadi juga tidak ada yang sama, juga berasal dari adat istiadat yang berbeda. Tapi, mereka mampu mengatasi segala perbedaan tersebut. Keinginan untuk bersatu demi cita-cita yang mulia mampu menyingkirkan perbedaan tersebut dan meletakkan cita-cita bersama sebagai hal utama.
Para peserta yang memiliki latar belakang multikultural dari berbagai suku, agama, ras, dan budaya tersebut telah mencerminkan prinsip bahwa sudah sejak dahulu bangsa Indonesia menanamkan sikap saling menghormati dan menghargai di tengah kemajemukan. Perbedaan yang ada saat itu tidak lantas membuat setiap pemuda daerah memiliki tujuan yang berbeda-beda. Mereka tetap bersatu padu dengan harapan membangun Indonesia yang lebih maju dan terlepas dari kolonialisme.
            Peristiwa Sumpah Pemuda seharusnya mengajarkan kepada generasi kini dan mendatang bahwa perbedaan dan keanekaragaman bukanlah masalah dan hal yang perlu dipermasalahkan. Pemuda Indonesia sebagai penerus bangsa harus memiliki pemahaman bahwa perbedaan yang ada bukanlah hambatan, melainkan sebuah peluang dan tantangan untuk mengembangkan pendidikan agar lebih setara dalam hal kualitas dengan negara-negara maju dengan tidak membeda-bedakan SARA.
            Berbagai alternatif tentu perlu dilakukan agar semangat Sumpah Pemuda ini terus ada dan bukan hanya menjadi peristiwa nostalgia belaka. Pertama dengan melakukan pendidikan multikultural untuk seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan multikultural yang dimaksud adalah penanaman pemahaman bahwa keragaman etnis, suku, agama, ras, budaya, bahasa, dan status sosial yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan perbedaan yang harus dihormati dan dihargai. Pemahaman mengenai pendidikan multikultural ini dapat diimplementasikan dengan menyisipkan pendidikan multikultural dalam setiap mata pelajaran. Pendidikan multikultural tidak harus menjadi mata pelajaran sendiri, namun menjadi materi yang harus ditanamkan secara inklusif kepada siswa. Sehingga output yang diharapkan dari sebuah proses belajar mengajar agar lulusan sekolah atau universitas tidak hanya pandai sesuai dengan ilmu yang ditekuninya melainkan juga mampu menerapkan nilai keragaman dan harmonisasi dalam memahami dan menghargai perbedaan.Kedua, menerapkan demokrasi sebagai salah satu wujud pendidikan multikultural di dalam setiap pengambilan keputusan dengan menghargai adanya perbedaan pendapat. Pengambilan keputusan ini dapat dilaksanakan ketika siswa melakukan proses pembelajaran baik secara formal maupun non formal.
Saat ini, multikulturalisme di Indonesia sedang dalam keadaan transisi akibat pengaruh-pengaruh dari dunia luar. Akhirnya mau tidak mau, paham ini menuntut pada kemodernan. Modernitas dalam multikulturalisme berarti orang Indonesia harus mengubah sifat moralnya yang tidak sesuai dengan kehidupan zaman sekarang. Membiasakan diri menerima dan mau belajar budaya lain adalah bentuk modernitas saat ini. Jika multikulturalisme dianggap sebagai sebuah nilai yang baik, maka dengan cepat nilai tersebut akan mengalami re-inforcement dan akan berguna bagi masa depan Indonesia.
            Selain pendidikan yang berbasis multikultural sebagai salah satu solusi, multikulturalisme juga menekankan adanya keseimbangan kehidupan yang demokratis. Di Indonesia, menjamurnya LSM dan lembaga lain yang bertujuan untuk mewadahi masyarakat dalam lingkup bernegara ternyata mampu memberikan sumbangsih pada pengembangan kultur kewarganegaraan dan partisipasi yang bersifat terbuka. Untuk membentuk sebuah masyarakat yang demokratis, konstitusi formal saja tidak cukup namun untuk mencapai keseimbangan multikultur yang demokratis maka organisasi di masyarakat harus memainkan peranannya dengan memberikan ruang tersendiri yang terlepas dari negara. Institusi masyarakat juga harus memberikan kontribusinya pada penciptaan budaya politik, seperti memberi seseorang hak-hak sebagai warga negara, khususnya pada kaum yang termarjinalkan.
            Dalam konteks negara-bangsa, masing-masing kelompok yang berbeda harus diberi kesadaran untuk saling menggali dan mempelajari khazanah serta kekayaan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok tersebut. Sebab, dengan hal itu akan tumbuh rasa empati dalam diri kita terhadap orang atau kelompok yang memiliki latar belakang berbeda dengan kita. Dengan demikian, akan tercipta juga suatu pola kehidupan yang harmoni, karena satu sama lain akan saling menghormati dan melengkapi.
            Semua hal itu akan membantu melatih jiwa dan pikiran kita untuk siap menerima keberadaan orang atau kelompok lain di luar kita. Dengan cara pembiasaan tersebut, hati kita akan menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan. Nafsu untuk selalu berkuasa akan segera musnah oleh semangat untuk bersama. Tak akan ada lagi ego untuk menonjolkan identitas kelompok atau diri sendiri, tetapi semuanya akan saling menghargai dan menghormati.
Dalam perenungan di masa muda ini, seharusnya kita belajar untuk bersyukur bahwa Indonesia bahkan dunia ini penuh warna dan memiliki nada-nada tinggi rendah yang berkolaborasi menjadi irama yang indah. Menjadi sama dan serupa dengan orang lain tidak menjamin kita bebas konflik. Menjadi sama dan serupa dengan orang lain tidak menjamin kita bebas konflik. Menjadi berbeda tidaklah berarti kita harus bermusuhan. Mari kita ikut berkontribusi untuk menciptakan dan mempertahankan perdamaian, mengusahakan kesejahteraan banyak orang, dan melestarikan perdamaian, mengusahakan kesejahteraan banyak orang, dan melestarikan alam. Harmoni adalah keindahan memberi tanpa pamrih dan penuh rasa syukur ataupun menerima tanpa terbeban apalagi curiga. Hidup dalam harmoni adalah hidup yang merdeka dari kekacauan, perselisihan, kesombongan, perpecahan, pertentangan, dan permusuhan. Merdeka!


Daftar Pustaka
H. A. R Tilaar. Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo, 2004.
Irwan Abdullah. Berpihak Pada Manusia: Paradigma Nasional Pembangunan IndonesIA Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Choirul Mahfud. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar