Merajut Kembali
Mozaik Kebhinnekaan Melalui Sumpah Pemuda
“Menjadi merdeka bukanlah semata-mata melempar jauh-jauh
rantai
Yang membelenggu diri sendiri. Menjadi merdeka berarti
hidup dengan menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain.”
(Nelson
Mandela, Long Walk To Freedom)
Sudah 69 tahun Indonesia merdeka.
Namun, isu-isu SARA selalu hadir mewarnai negeri kita tercinta. Kutipan di atas
adalah catatan Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, sebuah negeri
yang, jika dapat dibandingkan, nasibnya pun tidak jauh beda dengan Indonesia.
Kenyataan sejarah menunjukkan bangsa
Indonesia terbentuk tidak lain karena adanya kesadaran untuk membentuk suatu
ikatan atas cita-cita bersama. Ide menyatukan diri sebagai sebuah bangsa
dicetuskan dalam Sumpah Pemuda. Hal ini menjadi cikal bakal terwujudnya satu
tujuan bersama yaitu Indonesia yang berdaulat dan merdeka. Para founding fathers menyadari bahwa diperlukan
dengan cepat sebuah upaya pengintegrasian Indonesia yang keadaannya sangat
beragam. Dengan dasar inilah, negara Indonesia yang baru merdeka kemudian
mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan bangsa dan kewarganegaraan.
Itulah sebabnya Bhinneka Tunggal Ika diciptakan menjadi simbol pemersatu
Indonesia.
Mozaik Keanekaragaman di Bumi Indonesia
Secara
geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 13.000
pulau, membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing pulau dihuni oleh
kelompok masyarakat yang memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda-beda,
mulai dari masalah budaya, bahasa, suku bangsa, dan agama. Bahkan, Clifford
Geertz menyebut Indonesia sedemikian kompleksnya sehingga rumit untuk
menentukan anatominya secara persis.
Keragaman suku bangsa, seni, budaya,
agama, dan bahasa telah membentuk Indonesia menjadi negara dengan struktur
sosial yang multikultural. Hal tersebut telah disadari oleh para pendiri bangsa
ini, bahwa keragaman bagi bangsa Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tidak
dapat dipisahkan. Karenanya, untuk tetap menjaga kerukunan nasional, mereka
menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai
semboyan persatuan. Bhinneka Tunggal Ika sendiri
bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia, karena jauh berabad-abad sebelumnya
kalimat ini juga digunakan untuk menggambarkan ide persatuan antara berbagai
ras dan kepercayaan di Nusantara dalam kekuasaan Majapahit. Perbedaan tidak
lagi dipahami sebagai alasan adanya permusuhan, namun dijadikan modal untuk membangun
bangsa dengan spirit persatuan.
Namun dalam perkembangannya, rasa
keindonesiaan mulai mengalami reduksi akibat semakin kompleksnya permasalahan
bangsa. Keanekaragaman tidak lagi menjadi sebuah kebanggaan, tetapi justru
menjadi pemicu konflik dan permusuhan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi bahan ajaran bagi anak sekolah,
tak pernah dipraktikkan dalam dunia nyata. Media massa tak henti-hentinya
memberitakan konflik dan perselisihan, yang ujung-ujungnya akan tetap sama,
karena ada motif perbedaan. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri,
jumlah konflik sosial pada tahun 2010 sebanyak 93 kasus, kemudian menurun pada 2011 menjadi 77 kasus, namun data sampai
pertengahan Agustus tahun 2012 meningkat lagi menjadi 89 kasus. Isu-isu keadilan,
pemerataan kesejahteraan, keadilan dalam narasi sejarah, dan lain sebagainya,
menjadi pemicu hadirnya gerakan-gerakan
yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Hal tersebut sudah menjadi bukti,
bahwa semboyan persatuan Bhinneka Tunggal
Ika masih belum dapat diwujudkan secara nyata. Inilah tantangan besar masa
depan bangsa. Bagaimana caranya bangsa Indonesia yang plural dapat menjaga
persatuan dan kerukunan nasional. Untuk menjawa persoalan tersebut, konsep
multikulturalisme dapat kita jadikan pijakan awal.
Prahara Perbedaan: Isu Disintegrasi Bangsa
Perasaan
sebagai sebuah bangsa merupakan suatu persoalan. Perasaan itu dapat menjadi
tidak penting di suatu saat, namun dapat secara tiba-tiba dirasa penting di
suatu saat, namun dapat secara tiba-tiba dirasa penting pada saat yang lain.
Rasa berbangsa itu juga bersifat abstrak. Abstrak atau hanya imajinasilah rasa
keindonesiaan ini ada dan berkembang. Hal ini disebabkan karena rasa tidak
mengenal antara satu orang atau etnis dengan orang lain atau etnis lain. Persatuan
orang-orang yang berbeda ini hanya sebatas gagasan, mimpi dan cita-cita yang
sama dan dengan itu mereka menghidupkan bayangan tentang kebersamaan dalam
benak mereka masing-masing. Abstraknya rasa kebangsaan itu yang kemudian
menjadikan rasa berbangsa ini bukanlah sesuatu yang telah selesai, akan tetapi
akan terus menerus hidup dan berproses dalam pergulatan kehidupan manusia
Indonesia.
Kasus lain yang terjadi baru-baru
ini adalah munculnya konflik kelompok muslim Syi’ah dengan Sunni di Madura pada
tahun 2012 lalu. Pada dasarnya, agama adalah pegangan untuk membimbing manusia
pada kedamaian dunia dan akhirat, bukan sesuatu untuk dituhankan. Kesalahan
interpretasi ini yang kemudian berujung pada disintegrasi. Agama tidak lagi
dipandang sebagai sesuatu yang mempersatukan namun sebagai pemisah dengan
golongan-golongan lain. Konflik perbedaan dua pandangan beragama di Sampang ini
salah satunya dipicu oleh tingginya fanatik terhadap suatu agama dan adanya
provokasi. Lalu bagaimana masa depan Indonesia jika gesekan ini dibiarkan
terjadi? Adakah solusi yang tepat untuk mengatasi konflik antar kelompok?
Sebagai sebuah bangsa yang majemuk
atau plural tentulah akan mengalami guncangan karena masalah perpecahan atau
konflik horisontal. Isu-isu separatisme yang terjadi di Maluku, Aceh dan Papua,
cukup menggambarkan betapa rentannya keberlangsungan bangsa Indonesia.
Permasalahan tersebut cukup membuat pemerintah kewalahan dalam menanganinya.
Keanekaragaman atau kemajemukan ini
memiliki dua sisi yang tak dapat dipisahkan yakni anugerah sekaligus kutukan.
Anugerah itu dapat berupa kekayaan budaya dan adat istiadat yang kita miliki
memberikan segudang ilmu pengetahuan dan pengakuan bahwa betapa besarnya bangsa
ini. Di satu sisi, kutukan mengancam dengan menjelma menjadi konflik berdarah
antaretnis, agama maupun ras yang tak sedikit menelan korban jiwa. Hal inilah
yang kemudian membuktikan bahwa bangsa ini memiliki proses perkembangan yang
begitu kompleks permasalahannya.
Harapan untuk terus bersama dan
relevansi untuk terus menjadi bangsa yang satu tentu harus terus dipertahankan.
Pergeseran arah imajinasi kebangsaan ini menjadi sesuatu yang sangat penting
untuk dilakukan agar rasa kebangsaan menjadi relevan dan aktual. Mengurai
memori masa lalu untuk menina-bobokan masyarakat dengan kisah atau hikayat lama
menjadi tidak cukup lagi. Maka diperlukan pergeseran paradigma untuk
memperbaharui ke-indonesia-an kita.
Tantangan Multikulturalisme ke Depan: Sebuah Solusi?
Dalam
prakteknya, nasionalisme di Indonesia tidak mampu menangani permasalahan yang
kompleks mengenai entitas, identitas, dan integritas. Kemajemukan Indonesia
perlu ditangani lebih serius untuk membentuk Indonesia yang sejahtera dan maju.
Sebagai paham baru, multikulturalisme diperkenalkan untuk menawarkan solusi
yang efektif. Namun, hal ini juga perlu mendapat dukungan penuh dari pemerintah
dan seluruh lapisan masyarakat sebagai sebuah konsep, multikulturalisme
mengedepankan penghargaan atas
budaya-budaya lain dan pembinaan moral pada masyarakat. Konflik-konflik yang
terjadi pada umumnya melibatkan lapisan paling bawah yang kurang tersentuh oleh
kebijakan pemerintah. Memang kebijakan pemerintah yang baik berguna bagi
seluruh masyarakat Indonesia, namun seringkali disalahgunakan oleh elite-elite
tertentu sehingga golongan minoritas terabaikan.
Belajar
dari sejarah, nation building hanya
menekankan peran sentral negara. Kesadaran kebangsaan Indonesia pada dasarnya
harus dikaitkan dengan keberagaman sebagai salah satu nilai dasarnya. Walaupun
paham multikultur menekankan perlunya menghargai keanekaragaman budaya, harus
terus-menerus dikaji dan direvitalisasi agar terhindar dari etnosentrisme,
eksklusivisme, dan fanatisme. Dalam pengimplementasiannya, tujuan dari
multikulturalisme yang demokratis bukan untuk menghilangkan para lakon dari
ranah publik melainkan untuk mengusahakan dimasukkannya kelompok-kelompok
marjinal dan tidak diuntungkan.
Mengembalikan Kesempatan yang Hilang: Penguatan Nilai
Multikulturalisme Melalui Sumpah Pemuda
Peristiwa
Sumpah Pemuda, 86 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, sebagai
salah satu bukti peranan pemuda yang sangat luar biasa dalam menciptakan
paradigma baru mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan. Momentum bersejarah
tersebut merupakan tekad pemuda-pemuda dari berbagai daerah untuk melebur
menjadi satu sebagai pemuda Indonesia dengan ikrar satu tanah air, satu bangsa,
dan satu bahasa.
Peristiwa Kongres Sumpah Pemuda
terdiri dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten
Bond, Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Roekoen, PPPI, Pemoeda
Kaoem Betawi, Pemuda Tionghoa, dan lain-lain. Bayangkan, bagaimana puluhan atau
ratusan pemuda yang saling tidak mengenal atau mengenal hanya melalui surat
menyurat yang boleh jadi secara sembunyi-sembunyi karena di sensor pihak
penjajah tiba-tiba berkongres dan kemudian membuahkan sebuah raison d’etre,
sebuah pernyataan untuk bersatu. Mereka datang dengan bahasa ibu yang
berbeda-beda, yang satu boleh jadi sehari-hari berbahasa Jawa, satunya berbahasa
Ambon, atau mungkin satunya berbahasa Sunda. Agama mereka boleh jadi juga tidak
ada yang sama, juga berasal dari adat istiadat yang berbeda. Tapi, mereka mampu
mengatasi segala perbedaan tersebut. Keinginan untuk bersatu demi cita-cita
yang mulia mampu menyingkirkan perbedaan tersebut dan meletakkan cita-cita
bersama sebagai hal utama.
Para
peserta yang memiliki latar belakang multikultural dari berbagai suku, agama,
ras, dan budaya tersebut telah mencerminkan prinsip bahwa sudah sejak dahulu
bangsa Indonesia menanamkan sikap saling menghormati dan menghargai di tengah
kemajemukan. Perbedaan yang ada saat itu tidak lantas membuat setiap pemuda
daerah memiliki tujuan yang berbeda-beda. Mereka tetap bersatu padu dengan
harapan membangun Indonesia yang lebih maju dan terlepas dari kolonialisme.
Peristiwa Sumpah Pemuda seharusnya
mengajarkan kepada generasi kini dan mendatang bahwa perbedaan dan
keanekaragaman bukanlah masalah dan hal yang perlu dipermasalahkan. Pemuda
Indonesia sebagai penerus bangsa harus memiliki pemahaman bahwa perbedaan yang
ada bukanlah hambatan, melainkan sebuah peluang dan tantangan untuk
mengembangkan pendidikan agar lebih setara dalam hal kualitas dengan
negara-negara maju dengan tidak membeda-bedakan SARA.
Berbagai alternatif tentu perlu
dilakukan agar semangat Sumpah Pemuda ini terus ada dan bukan hanya menjadi
peristiwa nostalgia belaka. Pertama dengan melakukan pendidikan multikultural untuk
seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan multikultural yang dimaksud adalah
penanaman pemahaman bahwa keragaman etnis, suku, agama, ras, budaya, bahasa,
dan status sosial yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan perbedaan yang
harus dihormati dan dihargai. Pemahaman mengenai pendidikan multikultural ini
dapat diimplementasikan dengan menyisipkan pendidikan multikultural dalam
setiap mata pelajaran. Pendidikan multikultural tidak harus menjadi mata
pelajaran sendiri, namun menjadi materi yang harus ditanamkan secara inklusif
kepada siswa. Sehingga output yang
diharapkan dari sebuah proses belajar mengajar agar lulusan sekolah atau
universitas tidak hanya pandai sesuai dengan ilmu yang ditekuninya melainkan
juga mampu menerapkan nilai keragaman dan harmonisasi dalam memahami dan
menghargai perbedaan.Kedua, menerapkan demokrasi sebagai salah satu wujud
pendidikan multikultural di dalam setiap pengambilan keputusan dengan
menghargai adanya perbedaan pendapat. Pengambilan keputusan ini dapat
dilaksanakan ketika siswa melakukan proses pembelajaran baik secara formal
maupun non formal.
Saat
ini, multikulturalisme di Indonesia sedang dalam keadaan transisi akibat
pengaruh-pengaruh dari dunia luar. Akhirnya mau tidak mau, paham ini menuntut
pada kemodernan. Modernitas dalam multikulturalisme berarti orang Indonesia
harus mengubah sifat moralnya yang tidak sesuai dengan kehidupan zaman
sekarang. Membiasakan diri menerima dan mau belajar budaya lain adalah bentuk
modernitas saat ini. Jika multikulturalisme dianggap sebagai sebuah nilai yang
baik, maka dengan cepat nilai tersebut akan mengalami re-inforcement dan akan berguna bagi masa depan Indonesia.
Selain pendidikan yang berbasis
multikultural sebagai salah satu solusi, multikulturalisme juga menekankan
adanya keseimbangan kehidupan yang demokratis. Di Indonesia, menjamurnya LSM
dan lembaga lain yang bertujuan untuk mewadahi masyarakat dalam lingkup
bernegara ternyata mampu memberikan sumbangsih pada pengembangan kultur
kewarganegaraan dan partisipasi yang bersifat terbuka. Untuk membentuk sebuah
masyarakat yang demokratis, konstitusi formal saja tidak cukup namun untuk
mencapai keseimbangan multikultur yang demokratis maka organisasi di masyarakat
harus memainkan peranannya dengan memberikan ruang tersendiri yang terlepas
dari negara. Institusi masyarakat juga harus memberikan kontribusinya pada penciptaan
budaya politik, seperti memberi seseorang hak-hak sebagai warga negara,
khususnya pada kaum yang termarjinalkan.
Dalam konteks negara-bangsa,
masing-masing kelompok yang berbeda harus diberi kesadaran untuk saling
menggali dan mempelajari khazanah serta kekayaan yang dimiliki oleh
masing-masing kelompok tersebut. Sebab, dengan hal itu akan tumbuh rasa empati
dalam diri kita terhadap orang atau kelompok yang memiliki latar belakang
berbeda dengan kita. Dengan demikian, akan tercipta juga suatu pola kehidupan
yang harmoni, karena satu sama lain akan saling menghormati dan melengkapi.
Semua hal itu akan membantu melatih
jiwa dan pikiran kita untuk siap menerima keberadaan orang atau kelompok lain
di luar kita. Dengan cara pembiasaan tersebut, hati kita akan menjadi lebih
terbuka terhadap perbedaan. Nafsu untuk selalu berkuasa akan segera musnah oleh
semangat untuk bersama. Tak akan ada lagi ego untuk menonjolkan identitas
kelompok atau diri sendiri, tetapi semuanya akan saling menghargai dan menghormati.
Dalam
perenungan di masa muda ini, seharusnya kita belajar untuk bersyukur bahwa
Indonesia bahkan dunia ini penuh warna dan memiliki nada-nada tinggi rendah
yang berkolaborasi menjadi irama yang indah. Menjadi sama dan serupa dengan
orang lain tidak menjamin kita bebas konflik. Menjadi sama dan serupa dengan
orang lain tidak menjamin kita bebas konflik. Menjadi berbeda tidaklah berarti
kita harus bermusuhan. Mari kita ikut berkontribusi untuk menciptakan dan
mempertahankan perdamaian, mengusahakan kesejahteraan banyak orang, dan
melestarikan perdamaian, mengusahakan kesejahteraan banyak orang, dan
melestarikan alam. Harmoni adalah keindahan memberi tanpa pamrih dan penuh rasa
syukur ataupun menerima tanpa terbeban apalagi curiga. Hidup dalam harmoni
adalah hidup yang merdeka dari kekacauan, perselisihan, kesombongan,
perpecahan, pertentangan, dan permusuhan. Merdeka!
Daftar Pustaka
H. A. R Tilaar. Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global
Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo, 2004.
Irwan Abdullah. Berpihak Pada Manusia: Paradigma Nasional
Pembangunan IndonesIA Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Choirul Mahfud. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar