“Pahlawan...jangan menanti kedatangannya.
Mereka adalah aku, kau, dan kita semua. Mereka bukan orang lain. Mereka hanya
belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji untuk merebut takdir kepahlawanan
mereka, dan dunia akan menyaksikan gugusan pulau-pulau ini menjelma menjadi
untaian kalung zamrud kembali yang menghiasi leher sejarah” (Matta, 2003) .
Pahlawan
sejati memang dibutuhkan di sini. Tapi jangan menanti kedatangannya atau
menggodanya untuk hadir ke sini. Jangan menunggu pahlawan seperti orang-orang
lugu tertindas yang menunggu datangnya Ratu Adil. Ratu Adil, Satrio Piningit,
atau apa pun namanya itu tidak akan pernah datang karena mereka hanyalah
abstraksi yang mungkin hanya ada dalam imajinasi dan definisi. Menunggu pahlawan
adalah kesia-siaan karena sejatinya ia sudah ada di dalam diri setiap manusia. Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dalam esainya di majalah minggguan Time edisi 10
Oktober 2005 bertajuk “The Making of A Hero” menuliskan bahwa setiap masyarakat
membutuhkan pahlawan dan masyarakat itu sendiri sesungguhnya mempunyai
pahlawan, hanya banyak orang melupakannya karena mereka terlalu sibuk mencari (Yudhoyono, 2005) .
Sebagai
generasi harapan sudah kewajiban pemuda-pemudi Indonesia untuk menjadi pahlawan
bagi diri, keluarga, lingkungan, bangsa dan negara Indonesia. Menjadi pahlawan
tidak perlu menjadi seorang yang sempurna dan dapat melakukan semua hal karena
pengertian pahlawan sendiri secara leksikal hanyalah ungkapan tentang orang
yang mempunyai sikap tegas dan berani (Gusmian, 2004) . Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan pahlawan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan
pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Dari
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pahlawan adalah orang-orang biasa
yang gagah berani dan rela berkorban demi kehidupan orang lain melalui gagasan
yang dibelanya sebagai keyakinan akan sesuatu yang benar dan bermanfaat bagi
orang banyak.
Pahlawan
dibutuhkan di masa ini karena dalam sejarah, pekerjaan-pekerjaan besar hanya
dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Pahlawan
dibutuhkan untuk mengangkat derajat Indonesia dari keterpurukan dan
membangkitkan potensi yang ada hingga ke titik maksimal. Pahlawan dibutuhkan
untuk mengubah tantangan menjadi peluang, kecemasan menjadi harapan, ketakutan
menjadi keberanian, dan krisis menjadi berkah. Pahlawan dibutuhkan untuk
menciptakan sebuah kehidupan yang terhormat dan berwibawa yang dilandasi
keadilan dan dipenuhi kemakmuran. Oleh karena itu, sudah saatnya setiap orang
Indonesia belajar untuk menjadi pahlawan masa kini.
Hal
pertama yang diperlukan untuk menjadi pahlawan masa kini adalah sikap berani.
Soekarno menjadi presiden pada usia 44 tahun, Soeharto memimpin gerilya ke kota
Yogyakarta pada usia 26 tahun, Ali Sadikin menjadi gubernur pada usia 39 tahun.
Mereka semua adalah pahlawan Indonesia pada masa mudanya. Apa yang menyebabkan
keadaan seperti itu kini tak terjadi lagi? Mengapa kini, pada awal abad ke-21,
sejumlah orang hanya berbisik di belakang, seakan-akan mendesakkan yang tak
lumrah, memberitakan yang tak lazim tanpa melakukan apa pun?
Rupanya
sesuatu terjadi, kini Indonesia berada dalam sebuah krisis dan lebih dari itu,
kini Indonesia telah terbiasa gentar untuk krisis. Perlu sebuah keberanian
untuk mendobrak rasa gentar itu, seperti yang ditunjukkan oleh RA Kartini. Ia
adalah seorang yang cita-citanya luas terbentang tapi tubuhnya bagaikan
sandera. Ia seorang yang tahu indahnya cakrawala Barat tapi seorang gadis
pribumi yang selalu peka akan cemooh orang Belanda kepada ke”Barat”-annya. Tapi
dunia tak akan lupa bahwa ia juga seorang yang berani. Ia dirikan sekolah untuk
wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, ia
tantang budaya patriarki. Andai Kartini gentar, menyimpan semua ide dan
pemikirannya hanya dalam surat yang dikirimkannya kepada temannya, Rosa
Abendanon maka Indonesia akan kehilangan salah satu pahlawan emansipasinya. Kisah
lain mengenai keberanian berasal dari Sainah, seorang pembantu rumah tangga
miskin yang berani bersaksi mengatakan kebenaran walapun dengan penuh risiko dalam
pengadilan Tommy Soeharto (Gusmian, 2004) .
Kesadaran
akan keberanian bukan semata-mata lahir sebagai anugerah. Keberanian perlu
dibangun dari dalam diri. Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu
dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah
tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun. Keberanian yang
dimaksud pun tentu bukan sembarang berani, tapi keberanian yang bertumpu pada
nilai seperti kata Goenawan Mohamad “Pahlawan
bermula dengan menolak dan berangkat dari nilai”. Oleh karena itu, salah
jika perampok, pembobol uang negara, penipu dana bank yang tentunya punya
keberanian tinggi termasuk dalam klaim pahlawan karena mereka semua tidak
bertolak dan berdasar kepada nilai yang ada.
Hal
kedua yang diperlukan untuk menjadi seorang pahlawan masa kini adalah sikap
rela berkorban. Bhisma yang gugur bersandar pada puluhan anak panah yang
mencoblosi tubuhnya. Monginsidi yang ditembak mati, atau pun Cut Nyak Dien yang
terkurung di penjara hingga kematiannya adalah tokoh-tokoh yang dapat dijadikan
sebagai contoh penerapan sikap rela berkorban. Keberanian tanpa sikap rela
berkorban adalah sia-sia.
“Seorang
manusia yang begitu gagahnya hingga tidak menanggungkan suatu kesedihan apa
pun, atau kebimbangan apa pun, atau bahkan pamrih apa pun, tak bisa disebut
pernah berbuat heroik. Tindakan heorik
mengandung pengorbanan diri sendiri yang sangat besar. Tindakan heroik adalah
hasil pilihan yang pedih, antara “ya” atau “tidak”. Tanpa pilihan gawat itu,
tindakan gagah yang mana pun akan keluar sebagai tindakan biasa saja, tanpa
gundah hati, tanpa gelora, cuma otomatis.” (Mohamad, 1987)
Pantang
menyerah adalah hal ketiga yang diperlukan untuk menjadi pahlawan masa kini.
Sebab pantang menyerah adalah napas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian
bertahan dalam diri seorang pahlawan. Ada banyak pahlawan yang tidak dapat
mengakhiri hidupnya sebagai pahlawan karena mereka gagal menghadapi tantangan
dan hadapan. Seorang pahlawan tidak akan pernah menyerah, Pramoedya Ananta Toer
pernah mengatakan dalam bukunya, Prahara Budaya bahwa “Setiap pejuang bisa kalah dan terus menerus kalah tanpa kemenangan,
dan kekalahan itulah gurunya yang terlalu mahal dibayarnya. Tetapi biarpun
kalah, selama seseorang itu bisa dinamai pejuang dia tidak akan menyerah.
Bahasa Indonesia cukup kaya untuk membedakan kalah daripada menyerah”
Sikap nyata berupa tindakan juga diperlukan
untuk menjadi pahlawan. Seperti dicontohkan oleh Butet Manurung yang memiliki
tujuan hampir mustahil: pemberantasan buta huruf di kalangan suku-suku terasing
dari hutan Sumatera. Ia tahu mereka tidak akan datang kepadanya, maka ia yang
datang menemui mereka jauh ke dalam hutan. Awalnya, ia ditolak oleh suku-suku
tersebut. Namun ketetapan hatinya membuat suku-suku tersebut menjadi percaya
padanya, ia dapat mengajar membaca dan menulis, hidup di antara mereka
seolah-olah ia adalah bagian dari suku tersebut. Selain Butet, banyak orang
yang melakukan tindakan tak terhitung banyaknya untuk ibu pertiwi ini.
Semua hal dan tindakan itulah yang diperlukan
untuk menjadi seorang pahlawan di masa kini. Seorang pahlawan di masa kini tidak dituntut untuk menang dalam perang
dengan mengandalkan otot dan kekuatan fisik untuk mengusir penjajah. Pahlawan
masa kini harus lebih cerdas karena masih banyak masalah di Indonesia yang
belum terpecahkan. Menjadi relawan untuk mengajar mereka yang buta huruf,
menyumbangkan sedikit makanan dan pakaian kepada mereka yang kurang mampu,
belajar yang giat untuk kemajuan bangsa dan negara, dan melakukan hal-hal lain
yang bertujuan kepada kebaikan orang banyak merupakan deskripsi pahlawan masa
kini yang dibutuhkan.
Sebuah kehidupan yang terhormat dan
berwibawa yang di landasi keadilan dan dipenuhi kemakmuran masih mungkin
dibangun di negeri ini. Untaian zamrud khatulistiwa masih mungkin dirajut
menjadi kalung sejarah yang indah di negeri ini. Tidak peduli seberapa berat
krisis yang menimpa. Tidak peduli seberapa banyak mendung, hujan bahkan petir
yang menggelayuti bangsa ini. Masih mungkin dengan satu kata: para pahlawan.
Para pahlawan yang berani mati demi perdamaian sejati. Pahlawan yang mau
sejenak melangkah mundur dari jerat konflik internal dan memasuki arena
pertempuran yang sesungguhnya. Pahlawan yang akan bertempur tanpa imbalan jasa
dan pengakuan apa-apa. Pahlawan sejati yang tidak hanya berfungsi sebagai
simbol bagi individu yang berjasa secara tindakan. Pahlawan yang tidak ditunggu
tapi diciptakan.
DAFTAR PUSTAKA
Gusmian, I. (2004). Pantat Bangsaku: Melawan Lupa di
Negeri Para Tersangka. Yogyakarta: Galang Press.
Matta, A. (2003). Mencari Pahlawan Indonesia. Jakarta:
The Tarbawi Center.
Mohamad, G. (1987, Desember 12). Keramat. Jakarta.
Yudhoyono, S. B. (2005, Oktober 10). The Making of A Hero.
Diambil kembali dari Time World: http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2054335,00.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar