Selasa, 10 Juni 2014

PAHLAWAN MASA KINI


Pahlawan...jangan menanti kedatangannya. Mereka adalah aku, kau, dan kita semua. Mereka bukan orang lain. Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji untuk merebut takdir kepahlawanan mereka, dan dunia akan menyaksikan gugusan pulau-pulau ini menjelma menjadi untaian kalung zamrud kembali yang menghiasi leher sejarah” (Matta, 2003).
Pahlawan sejati memang dibutuhkan di sini. Tapi jangan menanti kedatangannya atau menggodanya untuk hadir ke sini. Jangan menunggu pahlawan seperti orang-orang lugu tertindas yang menunggu datangnya Ratu Adil. Ratu Adil, Satrio Piningit, atau apa pun namanya itu tidak akan pernah datang karena mereka hanyalah abstraksi yang mungkin hanya ada dalam imajinasi dan definisi. Menunggu pahlawan adalah kesia-siaan karena sejatinya ia sudah ada di dalam diri setiap manusia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam esainya di majalah minggguan Time edisi 10 Oktober 2005 bertajuk “The Making of A Hero” menuliskan bahwa setiap masyarakat membutuhkan pahlawan dan masyarakat itu sendiri sesungguhnya mempunyai pahlawan, hanya banyak orang melupakannya karena mereka terlalu sibuk mencari (Yudhoyono, 2005).
Sebagai generasi harapan sudah kewajiban pemuda-pemudi Indonesia untuk menjadi pahlawan bagi diri, keluarga, lingkungan, bangsa dan negara Indonesia. Menjadi pahlawan tidak perlu menjadi seorang yang sempurna dan dapat melakukan semua hal karena pengertian pahlawan sendiri secara leksikal hanyalah ungkapan tentang orang yang mempunyai sikap tegas dan berani (Gusmian, 2004). Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pahlawan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pahlawan adalah orang-orang biasa yang gagah berani dan rela berkorban demi kehidupan orang lain melalui gagasan yang dibelanya sebagai keyakinan akan sesuatu yang benar dan bermanfaat bagi orang banyak.
Pahlawan dibutuhkan di masa ini karena dalam sejarah, pekerjaan-pekerjaan besar hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Pahlawan dibutuhkan untuk mengangkat derajat Indonesia dari keterpurukan dan membangkitkan potensi yang ada hingga ke titik maksimal. Pahlawan dibutuhkan untuk mengubah tantangan menjadi peluang, kecemasan menjadi harapan, ketakutan menjadi keberanian, dan krisis menjadi berkah. Pahlawan dibutuhkan untuk menciptakan sebuah kehidupan yang terhormat dan berwibawa yang dilandasi keadilan dan dipenuhi kemakmuran. Oleh karena itu, sudah saatnya setiap orang Indonesia belajar untuk menjadi pahlawan masa kini.
Hal pertama yang diperlukan untuk menjadi pahlawan masa kini adalah sikap berani. Soekarno menjadi presiden pada usia 44 tahun, Soeharto memimpin gerilya ke kota Yogyakarta pada usia 26 tahun, Ali Sadikin menjadi gubernur pada usia 39 tahun. Mereka semua adalah pahlawan Indonesia pada masa mudanya. Apa yang menyebabkan keadaan seperti itu kini tak terjadi lagi? Mengapa kini, pada awal abad ke-21, sejumlah orang hanya berbisik di belakang, seakan-akan mendesakkan yang tak lumrah, memberitakan yang tak lazim tanpa melakukan apa pun?
Rupanya sesuatu terjadi, kini Indonesia berada dalam sebuah krisis dan lebih dari itu, kini Indonesia telah terbiasa gentar untuk krisis. Perlu sebuah keberanian untuk mendobrak rasa gentar itu, seperti yang ditunjukkan oleh RA Kartini. Ia adalah seorang yang cita-citanya luas terbentang tapi tubuhnya bagaikan sandera. Ia seorang yang tahu indahnya cakrawala Barat tapi seorang gadis pribumi yang selalu peka akan cemooh orang Belanda kepada ke”Barat”-annya. Tapi dunia tak akan lupa bahwa ia juga seorang yang berani. Ia dirikan sekolah untuk wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, ia tantang budaya patriarki. Andai Kartini gentar, menyimpan semua ide dan pemikirannya hanya dalam surat yang dikirimkannya kepada temannya, Rosa Abendanon maka Indonesia akan kehilangan salah satu pahlawan emansipasinya. Kisah lain mengenai keberanian berasal dari Sainah, seorang pembantu rumah tangga miskin yang berani bersaksi mengatakan kebenaran walapun dengan penuh risiko dalam pengadilan Tommy Soeharto (Gusmian, 2004).
Kesadaran akan keberanian bukan semata-mata lahir sebagai anugerah. Keberanian perlu dibangun dari dalam diri. Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun. Keberanian yang dimaksud pun tentu bukan sembarang berani, tapi keberanian yang bertumpu pada nilai seperti kata Goenawan Mohamad “Pahlawan bermula dengan menolak dan berangkat dari nilai”. Oleh karena itu, salah jika perampok, pembobol uang negara, penipu dana bank yang tentunya punya keberanian tinggi termasuk dalam klaim pahlawan karena mereka semua tidak bertolak dan berdasar kepada nilai yang ada. 
Hal kedua yang diperlukan untuk menjadi seorang pahlawan masa kini adalah sikap rela berkorban. Bhisma yang gugur bersandar pada puluhan anak panah yang mencoblosi tubuhnya. Monginsidi yang ditembak mati, atau pun Cut Nyak Dien yang terkurung di penjara hingga kematiannya adalah tokoh-tokoh yang dapat dijadikan sebagai contoh penerapan sikap rela berkorban. Keberanian tanpa sikap rela berkorban adalah sia-sia.
Seorang manusia yang begitu gagahnya hingga tidak menanggungkan suatu kesedihan apa pun, atau kebimbangan apa pun, atau bahkan pamrih apa pun, tak bisa disebut pernah berbuat heroik. Tindakan heorik mengandung pengorbanan diri sendiri yang sangat besar. Tindakan heroik adalah hasil pilihan yang pedih, antara “ya” atau “tidak”. Tanpa pilihan gawat itu, tindakan gagah yang mana pun akan keluar sebagai tindakan biasa saja, tanpa gundah hati, tanpa gelora, cuma otomatis. (Mohamad, 1987)
Pantang menyerah adalah hal ketiga yang diperlukan untuk menjadi pahlawan masa kini. Sebab pantang menyerah adalah napas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan. Ada banyak pahlawan yang tidak dapat mengakhiri hidupnya sebagai pahlawan karena mereka gagal menghadapi tantangan dan hadapan. Seorang pahlawan tidak akan pernah menyerah, Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan dalam bukunya, Prahara Budaya bahwa “Setiap pejuang bisa kalah dan terus menerus kalah tanpa kemenangan, dan kekalahan itulah gurunya yang terlalu mahal dibayarnya. Tetapi biarpun kalah, selama seseorang itu bisa dinamai pejuang dia tidak akan menyerah. Bahasa Indonesia cukup kaya untuk membedakan kalah daripada menyerah”
Sikap nyata berupa tindakan juga diperlukan untuk menjadi pahlawan. Seperti dicontohkan oleh Butet Manurung yang memiliki tujuan hampir mustahil: pemberantasan buta huruf di kalangan suku-suku terasing dari hutan Sumatera. Ia tahu mereka tidak akan datang kepadanya, maka ia yang datang menemui mereka jauh ke dalam hutan. Awalnya, ia ditolak oleh suku-suku tersebut. Namun ketetapan hatinya membuat suku-suku tersebut menjadi percaya padanya, ia dapat mengajar membaca dan menulis, hidup di antara mereka seolah-olah ia adalah bagian dari suku tersebut. Selain Butet, banyak orang yang melakukan tindakan tak terhitung banyaknya untuk ibu pertiwi ini.
Semua hal dan tindakan itulah yang diperlukan untuk menjadi seorang pahlawan di masa kini. Seorang pahlawan di masa kini  tidak dituntut untuk menang dalam perang dengan mengandalkan otot dan kekuatan fisik untuk mengusir penjajah. Pahlawan masa kini harus lebih cerdas karena masih banyak masalah di Indonesia yang belum terpecahkan. Menjadi relawan untuk mengajar mereka yang buta huruf, menyumbangkan sedikit makanan dan pakaian kepada mereka yang kurang mampu, belajar yang giat untuk kemajuan bangsa dan negara, dan melakukan hal-hal lain yang bertujuan kepada kebaikan orang banyak merupakan deskripsi pahlawan masa kini yang dibutuhkan.
Sebuah kehidupan yang terhormat dan berwibawa yang di landasi keadilan dan dipenuhi kemakmuran masih mungkin dibangun di negeri ini. Untaian zamrud khatulistiwa masih mungkin dirajut menjadi kalung sejarah yang indah di negeri ini. Tidak peduli seberapa berat krisis yang menimpa. Tidak peduli seberapa banyak mendung, hujan bahkan petir yang menggelayuti bangsa ini. Masih mungkin dengan satu kata: para pahlawan. Para pahlawan yang berani mati demi perdamaian sejati. Pahlawan yang mau sejenak melangkah mundur dari jerat konflik internal dan memasuki arena pertempuran yang sesungguhnya. Pahlawan yang akan bertempur tanpa imbalan jasa dan pengakuan apa-apa. Pahlawan sejati yang tidak hanya berfungsi sebagai simbol bagi individu yang berjasa secara tindakan. Pahlawan yang tidak ditunggu tapi diciptakan.




DAFTAR PUSTAKA


Gusmian, I. (2004). Pantat Bangsaku: Melawan Lupa di Negeri Para Tersangka. Yogyakarta: Galang Press.
Matta, A. (2003). Mencari Pahlawan Indonesia. Jakarta: The Tarbawi Center.
Mohamad, G. (1987, Desember 12). Keramat. Jakarta.
Yudhoyono, S. B. (2005, Oktober 10). The Making of A Hero. Diambil kembali dari Time World: http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2054335,00.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar