"My brain tells me it will be
better to just let him go.
But my heart... not so much.”
Kepadamu,
hati. Bersabarlah.
Kamu
harus mengerti, pembicaraan yang selalu berakhir ambigu ini. Aku dan dia memang
harus seperti ini keadaannya. Aku tahu kamu lelah, begitu pun aku. Tapi aku
wanita, tak ada yang bisa aku lakukan selain meyakinkan bahwa aku dan dia
sekarang atau setidaknya dahulu pernah terikat pada satu hati.
Bersabarlah karena terkadang hati tumbuh dengan cara yang amat ganjil
dan di tempat yang tak
pernah disangka. Andai aku bisa membuat pilihan tapi sayangnya cinta tak pernah
memilih, cinta selalu menemukan tempatnya sendiri untuk menetap.
Maka,
kepadamu hati. Tetaplah untuk selalu dan senantiasa bersabar, harus.
Kepadamu, pria.
Mengertilah.
Lamaku
tunggu kata-kata, yang merangkul semua. Dan kini ku harap ku dimengerti. Walau
sekali saja. Mengertilah bahwa aku menunggu. Mengertilah bahwa menunggu adalah
pekerjaan yang (sangat) membosankan. Mengertilah bahwa menunggu dalam hampa bisa
menyakitkan. Seharusnya, ya seharusnya hampa berarti tidak ada apa-apa. Tidak
ada apa-apa berarti tidak ada masalah. Termasuk rasa sakit.
Tapi
ternyata sakit
Tapi ternyata
aku tetap melakukannya.
Bahkan ketika yang ditunggu berkali-kali tidak muncul, bahkan ketika situasi
berganti menyebalkan, bahkan ketika orang lain sudah mengambil jalan lain, aku tetap melakukan hal yang sama: menunggu.
Terakhir mengertilah tentang kamu, tentang aku, tentang kita. Setiap
saat. Dari waktu ke waktu. Karena ternyata mencintai tak cukup hanya sekali bagiku. Ini ku lalui, aku mencintai, bukan hanya dari mata
jatuh ke hati, tapi caramu yang selalu menganggap aku berarti.
Maka, kepadamu pria. Tetaplah untuk selalu dan senantiasa ada disampingku, mengertilah.
Dan inilah hatiku, pada
dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.
Ini untuk kamu.
Bukan untuk 2
orang yang mendekati. Apalagi anak SMA itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar