Kamis, 02 Februari 2017

Apa Kabar?

Untuk lelakiku yang pernah kecewa



Ada sebuah hati yang kecewa
Mungkin bukan hal istimewa
Setiap manusia pernah kecewa

Di satu lapis, ruang hati dibentuk perasaan yang ria;
Di lapis lain, perasaan-perasaan yang terluka dan terpojok
Di satu sisi, ada bagian yang selalu ingin diperlihatkan, sebagai scene
Di sisi lain, bagian yang hendak disembunyikan, obscene

Aku ingin mengatakan, aku sendiri seperti sosok-sosok yang digambarnya (orang lain)
Di satu saat aku “orang kaya… yang memadati perutnya dengan makanan dan menenggak kemakmuran.”
Tapi di saat lain aku juga orang yang berdiri di luar pintu, di guyur hujan,  mengemis. 
“Aku seakan-akan terbelah dua dalam satu tubuh. Aku tak selalu bisa konsisten akan suatu hal.
Perubahan dan pemikiran itu ada, maka aku pertimbangkan kedua hal itu"

Untuk lelakiku yang pernah kecewa,
Anda biasa bersabar — dan makin tua makin demikian —
Anda menyadari pada akhirnya bukan anda (juga bukan dia)
yang memutuskan keburukan atau kebaikan apa yang harus saya pilih.
Anda hanya bisa kecewa dengan nasehat-nasehat agung sebelumnya kepadaku

Pemikiranku mungkin terbatas.
Mungkin aku kehilangan perspektif kamu yang mencakup semua tindakanku saat itu.
Tapi aku pernah yakin bahwa “mengatakan” kepadamu selalu sama dengan “menyerahkan pilihan kepadaku”
dan “menyerahkan pilihan kepadaku" sama dengan “keputusanku tanpa kamu”.
Namun ketika aku memutuskan, ada yang keliru; perasaanmu ternyata kecewa

Dari aku yang berhenti dengan kata kecewa

The Reason A Poet Coming To You



Hallo pria,
Sudahkah kamu meminum puisimu hari ini?
Sudahkah kamu mencuri pandang baterai teleponku hari ini?
Atau sudahkah kamu memakan apelmu hari ini?

Hmmm aku tahu kamu tersenyum,
Boleh kulanjutkan?

Aku menulis puisi ini; karena rasa sayang tak bisa menuliskan perasaannya sendiri
Aku mengirimkan puisi ini; karena bahagia tak bisa mengirimkan candanya sendiri
Juga aku memberitahu puisi ini; karena aku ingin dibilang romantis

Rasa ini, bukan lagi perasaan suka dan cinta
Ini adalah tentang sayang untuk dikenang
Mengenalmu adalah tiada pernah terbayangkan
Mendekatimu adalah suatu ketidaksengajaan
Terperangkap bersamamu adalah pilihan yang menyenangkan

Sampai disinilah puisiku,
Puisi ini tidak akan kutulis dalam kertas,
Kumasukkan ke dalam botol, dan kuhanyutkan ke laut
Karena itu mengotori laut

Dan aku tak punya cukup banyak botol untuk memasukkan semua perasaanku ke dalamnya

Bertemu Ketiga

Untuk kamu yang mengambil jalan kiri






Pernahkah kamu tahu rasanya bertemu kembali dengan orang yang telah kita ikhlaskan?
Pernahkah kamu tahu rasanya bertemu kembali dengan orang yang telah mengambil jalan kiri sedangkan diri kita yakin dengan jalan kanan yang tengah diambil?
Pernahkah kamu berpikir mungkin jalan kiri dan jalan kanan itu hanya cabang yang nantinya kembali menjadi satu?
Pernahkah dia membaca pesan-pesan yang kutinggalkan untuknya?

Pria, aku bertemu lagi denganmu

Pertemuan pertama denganmu
Membuatku seperti orang bodoh
diam, kaget, beku kaku

Pertemuan kedua denganmu
Membuatku seperti pemikir
Aku berpikir haruskah aku menyapamu?
Tapi kau terus berlalu dan aku yang pemalu

Pertemuan ketiga denganmu
Membuatku seperti ahli filsafat
Aku berpikir tentang jalan yang tengah kita ambil, aku tak mau merusak jalan kita masing-masing
 
Maka kali ini biar aku yang berlalu
Melawan kata hai yang telah di ujung lidah

Perintah Tuhan

Tuhan tak pernah menyuruh nelayan pergi ke laut. Itu adalah pilihannya sendiri. 
Tuhan pun tak pernah menyuruh petani mencocok sawah. Itu adalah pilihannya sendiri. 
Dan Tuhan pun tak pernah menyuruh saya memilihnya. 
Itu adalah pilihan saya sendiri.



Pacaran juga adalah hal yang tak pernah diminta Tuhan untuk saya lakukan. Tapi saya melakukannya. 
Kini, saya sedang dalam keadaan rusak, hati saya bicara A tapi mulut saya tak mampu menyalurkannya dengan baik. 
Saya memohon kepada Tuhan tapi saya juga malu. 
Tuhan tak pernah meminta saya untuk pacaran, kini saat saya rusak, saya meminta Tuhan mengatasinya. 
Siapa saya ini?

Suatu saat



Sudahkah kamu menilai hari ini tuan?
 
Di hari ini,ketika para ksatria hilang.
Di hari ketika sang hujan menjelma menjadi racun
Dan laba-laba mulai menyulam benangnya
Ada yang bongah: rusak tak kembali

Mungkin itu tak bernilai (bagimu)
Mungkin itu tak ternilai (bagiku)
Tapi adakah bagi kita itu memiliki nilai yang sama?

Tuan, di hari ini
Ada hati yang lelah pada celah yang mengangah.
 
Ada mata yang menutup melihat realita.
 
Ada jari yang tak mau digenggam lagi.
Ada aku yang bukan milikmu lagi

Tuan, suatu saat
Kau akan mengerti

Saat ketika matahari telah memajang bayangan di penghujung jalan
Saat sungai mulai meninggalkan hulu menuju hilir

Hati yang kau miliki
Sudah bukan milikmu lagi tuan
Berhentilah

Aku yang merasa jahat



Hari ini kuingin kembali bicara tentangmu
Sudah lama kupergi darimu
Kau yang mungkin tersiksa atas kepergianku
Kau juga yang mungkin telah mengorbankan semuanya atas kepergianku

Lautan padang teh yang kulintasi
Kabut tebal yang coba kutebas
Mengingatkanku kembali atas perginya diriku dari dirimu

Aku menyadari bahwa cintamu besar
Juga sayangmu
Aku tak buta akan hal itu
Aku juga tak tuli

Menyadari semua perlakuanmu padaku membuatku merasa jahat
Tapi juga kutahu
Jika kukembali padamu
Hatimu akan kembali terluka karena aku

Kau rela terluka,
Tapi bagaimana dengan aku yg membuatmu terluka?
Sedemikian cukup ku membuat luka
Maka biar kuhanya mengingatmu tanpa kembali padamu

Tidak Kemana-Mana

Saya sedang berpikir tentang diri saya. Diri saya yang tidak kemana-mana. Setahun ini saya bungkam, tidak berpindah, tidak bergerak dari zona nyaman saya. Setahun ini memang banyak hal luar biasa yang saya rasakan, mulai dari lulus kuliah, menjadi wisudawan terbaik, bekerja di rektorat, masuk S2, dan buku saya yang keempat terbit. Tapi jujur di dalam hati saya, masih ada yang kurang. Bukan saya tidak bersyukur untuk hal-hal itu. Saya sangat sangat bersyukur untuk hal itu. Namun saya bingung tentang tujuan saya.


Sejujurnya, semua yang saya lakukan tidak pernah saya rencanakan dengan ambisi perlu tercapai. Saya hanya berusaha untuk mencapainya tapi saya sendiri tidak pernah memaksakan diri saya untuk mencapai semuanya. Saya hanya berusaha melakukan terbaik yang saya bisa.


Namun sekarang, saya sedang menemui kebimbangan dalam perjalanan hidup saya. Melihat teman-teman saya melakukan hal-hal luar biasa di luar zona nyaman mereka, membuat saya iri. Saya iri melihat Ryan yang berani menjelajah 35 hari ke luar negeri tanpa menentukan tujuannya dahulu, saya iri pada Janu yang membuat lembaga pendidikan di daerahnya, saya iri pada teman-teman saya yang telah menentukan tujuan dan akan jadi apa mereka. Dan saya, hanya menjalani hidup.


Rasanya bosan, ada sesuatu yang kurang. Tapi saya tetap tak bergerak, tak kemana-mana.


Mungkin bodohnya saya untuk tak kunjung bergerak. Tapi rasanya begitu sulit untuk bergerak. Jika saya punya sedikit keberanian untuk bergerak, maka hal-hal yang sudah teratur dalam hidup saya akan berubah. Mungkin pilhan yang saya pilih akan menguatkan atau melemahkan hidup saya, akhirnya sekali lagi karena takut, saya tak kemana-mana.


Tapi kebosanan itu semakin pekat. Saya mulai bengah. Saya ingin bergerak.
 


Sejujurnya saya belum tahu mau melakukan apa. Tapi saya pikir, saya harus mulai memikirkan tujuan hidup saya atau hal-hal yang ingin saya tuju.
 



Saya ingin kembali ke diri saya yang dahulu, yang berjuang untuk hal-hal menyenangkan.

Sepi

Di sini sepi tak bertepi
Ada riuh tanpa gemuruh

Ada aku tanpa kamu

Fana



Seseorang pernah selalu ada di sana,
Selalu ada di sini, kemudian
Tiba-tiba lenyap
Dan terus menerus lenyap

Selalu ada yang pergi
Kepergian adalah momen luar biasa
Namun akhirnya biasa

Biarlah orang melakukan yang diinginkannya
Lalu mereka mati, semua, satu-satu
Bagi awan, himpunan itu, tak ada
Yang ganjil di saat itu

Pada hutan, pantai, gurun, dan glasir, pergilah kamu
Menghilang, menjauh, mengelak, dan jadi asing untuk diriku

Tak ada lelah
Tak ada celah
Tak ada salah

Berbahagialah