Jumat, 19 Juli 2013

It's All about My Teacher, I Call His Pak PJ



Pada bulan yang tak pernah saya ingat, untuk pertama kalinya saya menangis karena sebuah perpisahan. Juga untuk pertama kalinya, saya menemukan persamaan yang selama ini saya kais-kais antara saya dan seorang guru. Padahal “sesuatu” itu ada di bawah hidung saya, di atas kaki saya, bersemayam dalam diri tanpa saya sadari. Mungkin saya hanya membutuhkan sebuah peristiwa hebat untuk menemukannya.  Yah, perpisahan saya dan pak panjaitan, mungkin peristiwa hebat yang saya katakan sebelumnya punya pro dan kontra, tapi setidaknya itu hebat dan mengubah mindset saya tentang arti seorang pendidik.
Saya tidak akan pernah lupa momen itu. Saya akan berbagi dengan jujur tentang pengalaman saya pada posisi sebagai si penerima reaksi.  Perpisahan  antara saya dan guru matematika saya. Jujur, ia bukan guru yang saya favoritkan atau lebih dari itu. Hubungan mempunyai masa kadaluarsa. Dan pada saat itu hubungan saya dan Pak Panjaitan sebagai seorang murid telah mengalami masa kadaluarsa.
***
Pak Panjaitan adalah seorang guru yang pasti tidak mudah dilupakan oleh murid-muridnya bahkan hingga ayah saya yang juga muridnya masih mengingat baik bagaimana sikap dan cara Pak Panjaitan mengajar. Bagaimana tidak, setiap kali mengajar Pak Panjaitan selalu membawa penggaris kayu 1 meter di tangan kirinya sedangkan tangan yang lainnya memegang buku. Setiap jalan yang ia lewati pun selalu sepi seperti seorang Presiden yang sedang melintas. Bukan hal aneh jika kamu ada di posisi sebagai murid Pak Panjaitan. Murid-murid yang ada di sana entah kenapa seperti punya radar Neptunus yang ketika salah satu tanda kemunculan Pak Panjaitan terlihat maka anak-anak segera masuk kelas dan duduk rapi dengan sendirinya.
Hal ini bukanlah hal paling menakutkan bagi murid-murid. Menurut mereka ini adalah awal dari ketakutan. Dengan logat Bataknya yang khas, Pak Panjaitan menjelaskan pelajaran yang menjadi momok paling menakutkan untuk anak seumuran kami.  Dan kata mereka hal yang paling menakutkan ketika ia mengajar adalah ketika ia mengajarkan tentang lingkaran. Kalian pasti tahu jangka kayu untuk papan tulis. Dengan ujung paku dan panjang sekitar setengah meter. Kalian tentu bisa membayangkan, bagaimana Pak Panjaitan dengan mulut sedikit menggerutu setelah mengomel, menancapkan paku besi di papan tulis hingga berbunyi hanya untuk membuat satu lingkaran.
Pernah suatu kali, di pelajaran kelas lain penggaris kayu Pak Panjaitan tertinggal. Entah siapa yang punya ide langsung saja penggaris kayu tersebut disembunyikan. Katanya biar Pak PJ (panggilan akrab untuk Pak Panjaitan) tidak mukul-mukul papan tulis lagi pakai penggaris kayu. Dan walllaaaahhh setelah penggaris kayu disembunyikan, Pak PJ tidak memukul dengan penggaris lagi tetapi memukul dengan penghapus dan tangan juga ditambah tatapannya yang lebih cetar membahana badai.
Di dalam kelas, tak ada murid-murid yang berani mengobrol ketika pelajaran berlangsung. Ketika ada murid yang ketahuan mengobrol maka Pak Panjaitan akan segera mengeluarkan jargonnya yang terkenal dari tahun ke tahun.
“Kalian ketawa saja! Seperti ayam makan garam!”
“Hai boru! Kamu mengerti tidak jangan hanya banyak bicara di sini!”

Tentu saja murid-murid yang lain akan tertawa melihat apa yang diucapkannya tetapi karena rasa takut maka murid-murid hanya tersenyum di balik tangannya. Dan bagi saya sendiri, Pak PJ sejujurnya bukan sosok yang menakutkan. Ia menjadi menakutkan hanya karena stigma yang sudah ada selama bertahun-tahun di sekolah. Selain itu, karena aktif dalam beberapa kegiatan sekolah, saya bisa mengenal lebih dekat dengan sosok guru-guru. Semakin saya mengenal siapa sosok guru, rasa hormat saya bukan bertambah malah semakin berkurang. Semakin lama saya malah cenderung untuk tidak menyukai mereka. Alasan saya pada saat itu sangat sederhana, saya tidak menyukai tindakan yang dilakukan beberapa guru saya terhadap saya dan teman-teman. Bagi kami, tindakan mereka sangat tidak berwibawa. Karena kebencian kepada beberapa guru itulah, rasa wibawa dan segan yang saya berikan untuk guru berkurang.
            Begitu pun dengan Pak Panjaitan, beberapa kali saya sering nakal dalam kelasnya. Saya pernah membolos ketika pelajarannya, pernah mengobrol, pernah membawa makanan ke dalam kelasnya, pernah izin keluar ke toilet padahal saya pergi dan mengobrol serta kembali dengan membawa barang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelajaran matematika. Saya akui saya memang salah tapi tidak ada alasan yang menyadarkan saya kenapa saya harus berubah.
            Hingga akhirnya perpisahan itu datang. Semua anak yang mengenal Pak PJ pasti tahu bahwa Pak PJ adalah seorang guru yang sangat teguh pendiriannya. DI dalam pendiriannya itu, Pak PJ tak pernah mau menerima hadiah atau apapun selain haknya mengajar, yaitu gaji yang ia peroleh setiap bulannya. Banyak guru yang menerima hadiah, cinderamata, makan-makan tetapi Pak PJ tak pernah saya lihat mengikuti atau menerima hal-hal seperti itu. Pada saat acara HUT PGRI pun Pak PJ tidak mau untuk menerima hadiahnya padahal hadiah itu adalah perhargaan terhadap dedikasinya dan hanya 2 guru yang mendapatkannya, salah satunya adalah Pak PJ.
            Dan Pak PJ adalah Pak PJ. Walaupun itu adalah hadiah perpisahan dari murid-muridnya, ia tetap tidak mau menerima. Pada saat acara itu, saya datang terlambat dan yang saya lihat adalah teman-teman saya yang menangis. Katanya Pak PJ tidak mau menerima hadiah dari kita dan menyuruh kita pulang. Perlu digaris bawahi bahwa mereka, teman-teman saya menangis bukan karena rasa takut atau marah terhadap perlakuan Pak PJ tapi itu semua karena rasa sedih dan kecewa karena mereka sebagai murid-muridnya tidak bisa memberikan apa-apa jika benar Pak PJ keluar dari sekolah. Akhirnya setelah didesak oleh beberapa teman. Saya memberanikan diri untuk berbicara dengan Pak PJ. Pada saat saya ingin berbicara, teman saya yang terlebih dahulu bicara terlihat diusir dan membalikkan badannya.
            Entah ada rasa apa, saya tetap maju dan berjalan santai ke hadapan Pak PJ. Sebelum saya bicara, Pak PJ sudah berbicara terlebih dahulu.
“Kalau kau mau membujuk saya menerima hadiah itu, maka pulang saja kau. Aku tidak akan menerima hadiah itu” tutur Pak PJ
“Enggak ko pak, saya baru datang dan hanya ingin salim sama bapak” lidahku berbicara sendiri
“ Oh kalau salim, aku terima” jawab Pak PJ sambil menyodorkan tangannya
“Oh ya pak, hari ini, hari terakhir Bapak datang ke sekolah ya pak?” basa-basi sebagai taktik pun dikeluarkan.
“ Iya, besok saya sudah ke Medan…“
Setelah basa-basi yang cukup lama akhirnya topik pembicaraan berubah ke cinderamata atau hadiah dari anak-anak untuk Pak PJ.
“Saya mengajar kalian bukan karena hadiah. Saya juga mengajar kalian bukan karena mengharapkan sesuatu yang bisa kalian balas kepada saya suatu hari. Melihat kalian berhasil sudah menjadi hadiah untuk saya. Saya berhenti mengajar juga karena sudah waktu saya untuk berhenti dan tidak perlu kalian memberikan semua ini. Saya menghargai apa yang kalian lakukan ini. Tapi cukuplah rasanya yang saya ambil tidak perlu barangnya pula saya ambil. Saya mengajar kalian dengan ikhlas.” Tutur Pak PJ tulus
Jika ini diucapkan oleh guru-guru yang lain, saya tentu menganggap ini klise. Tapi karena ini adalah Pak PJ, ucapan seperti itu adalah ucapan yang jujur datang dari dirinya. Saya baru menyadari bahwa Pak PJ adalah guru yang seharusnya saya banggakan karena mempunyai kewibawaan dan prinsip yang tinggi. Karena peristiwa itu, pandangan dan mindset saya berubah dan akhirnya saya memilih untuk menjadi seorang calon guru matematika. Oh ya, pada akhirnya Pak PJ menerima hadiah dari kami, butuh waktu dan air mata loh untuk membujuk cenderung memaksa Pak PJ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar