Hanya ingin berbagi dan tak perlu dikomentari, semoga bermanfaat untuk menambah pengetahuan sekaligus mengenang kedudukan perempuan pada masa dahulu
MENOPAUSE JUGUN IANFU
Jugun Ianfu: Saya Bukan Pelacur
Stigma: mengakibatkan kesakitan. Bahkan kematian. Kata yang berasal dari bahasa Yunani untuk menyebut semacam tanda yang diterakan dengan luka bakar atau tato ke kulit seorang hukuman, pelaku kriminal, budak, atau pengkhianat. Pada awalnya, ia hanya gonjang-ganjing kisruh yang membadai namun perlahan stigma menjelma bak ideologi baru yang dipertahankan. Maka di situlah dimulai klasifikasi manusia dan stigma memasang tonggak dan pagarnya.
Alkisah, di negeri dengan 220 juta penduduk ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di 17 ribu pulaunya, terdapat 10.000-15.000 wanita Indonesia yang pernah memenuhi kebutuhan biologis 280.000 tentara Jepang sekitar satu abad lalu. “Pelacur” sebut sebagian orang. “Ransum Jepang” kata sebagian yang lain. Namun ada yang mengatakan wanita-wanita tersebut bukan pelacur, sundal, pun sinonimnya, mereka adalah jugun ianfu. Pada diri mereka ditanamkan representasi pelacur terhadap realitas bahwa mereka korban penjajahan Jepang. Pemberian nama pelacur hanya usaha untuk menguasai dan sekaligus mengasingkan “apa yang tak diketahui”, the unknown. Dengan latar seperti itu, bila antara pelacur dan jugun ianfu tak ada “diastatasis”, hanya mungkin ada dialektika dan tipu, masihkah jugun ianfu sebagai pelacur dalam stigma?
Pelacur menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah perempuan yang melacur; tunasusila. Sedangkan jugun ianfu secara harfiah, ju=ikut, gun=militer/balatentara, ian=penghibur, dan fu=perempuan, dengan demikian arti jugun ianfu adalah “perempuan penghibur yang ikut militer”. Sesuai namanya, sejak tahun 1942-1945 mereka diharuskan untuk memenuhi kebutuhan biologis tentara militer Jepang secara kasar, tidak manusiawi dan dalam jumlah besar. Maria Rosa, seorang mantan jugun ianfu menuturkan bagaimana perlakuan kasar tentara Jepang terhadap dirinya: “Ketika tentara “melecehkan”, saya merasa seperti “binatang”. Kadang-kadang mereka mengikat kaki kanan saya dengan sebuah ikat pinggang dan menggantungkannya pada paku di dinding saat mereka memperkosa. Saya marah sepanjang waktu tapi tidak ada yang bisa dilakukan”.
Jugun ianfu dengan label absurditas dan abnormalitas, sangat mengerti mereka telah melawan rambu normalitas ataupun mainstream budaya namun cara-cara kekerasan, tipu muslihat, ancaman, dan teror tentara Jepang berhasil menaklukan mereka dan tak ada pilihan lain selain menjadi jugun ianfu. Seandainya mereka benar pelacur, seharusnya ada pilihan bagi mereka. Sayangnya menjadi jugun ianfu bukan kata iya atau tidak yang menjadikannya, keadaan dan paksaanlah yang memilih mereka. Salah satu sumber berasal dari Soeryono Hadi, seorang mantan anggota pimpinan LKBN Antara Perwakilan Surabaya: “...dalam tahun 1943 kakak saya mengatakan bahwa Pemerintah Balatentara Pendudukan Dai Nippon menyerukan kepada setiap orang tua yang mempunyai anak gadis agar segera mendaftarkan kepada pemerintah akan anak gadisnya tersebut. Adapun maksud pendaftaran, menurut keterangan Pemerintah Dai Nippon pada waktu itu, mereka akan disekolahkan..” Tidak ada kecurigaan pada pendaftaran itu, karena pada masa itu, masyarakat Indonesia menganggap Jepang sebagai pahlawan dan menaruh harapan besar terhadap mereka (Adams, 1966: 210). Selain itu, Pramudya Ananta Noer dalam bukunya berjudul “Perawan Muda dalam Cengkeraman Militer” mencatat beberapa alasan lain,Pertama, gadis-gadis tersebut mempunyai hati penuh berisikan cita-cita mulia untuk maju dan berbakti pada masyarakat dan bangsanya. Kedua, keadaan hidup yang mencekik.Ketiga, peran orang tua yang bekerja mengabdi pada Jepang.
Sebagaimana disebutkan salah satu arsip Universitas Sumatera Utara dengan judul Jugun Ianfu, Eksploitasi perempuan pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), sebelum dipekerjakan, perempuan yang akan dijadikan jugun ianfu diperiksa kesehatannya, dipotret, diberi nama Jepang, dan ditempatkan pada kamar berukuran 3 x 2,5 m2, Emah Kasimah misalnya, mendapat nama Miyoko. Seorang jugun ianfu harus digilir 10-20 tentara Jepang karena tentara Jepang sangat banyak tiap harinya. Pernah saya baca dalam Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang, salah seorang di antara perempuan-perempuan itu mencoba menolak karena kencingnya sudah berdarah dan terasa nyeri. Sementara alat kelaminnya sudah berlendir dan mengeluarkan bau setumpukan bangkai tikus. Tubuhnya demam dan panas tinggi. Wajahnya sepucat mayat dan sudah tidak bisa berjalan karena seluruh belulangnya seakan remuk. Ia sudah tidak mampu melayani pejantan-penjantan itu. Namun bukannya dibawa ke dokter atau diberi obat, perempuan itu malah dipaksa digilir para tentara Jepang. Kepalanya dijambak sampai wajahnya tengadah. Ia ditempeleng sampai mulutnya berdarah. Akhirnya, ia tergeletak seperti mati di atas muntahan amisnya.
Dalam buku yang sama, ada juga cerita yang saya baca tentang bagaimana tentara Jepang itu menungganggi para perempuan itu dari depan dan belakang sambil mengayun-ayunkan ikat pinggang mereka sampai tubuh perempuan itu berbilur biru. Mereka seperti koboi dalam pertandingan pacu kuda. Begerak turun-naik, maju-mundur sambil mengayunkan pecut agar kudanya semakin kuat bergerak.
Untuk ‘memakai’ jugun ianfu sendiri, Tentara Jepang harus membeli tiket seharga 2,5 yen untuk tentara dan 3,5 yen untuk sipir. “Tapi saya tidak pernah dapat uang yennya,” kata Mardiyem. Jelas mereka tidak pernah dibayar, juga tak berani meminta bayaran. Tidak ada hari libur dan jam istirahat. Bahkan dalam keadaan haid pun, mereka tetap dipaksa mengangkangkan selangkangan. Derita kian bertambah ketika mereka hamil. Dokter setempat memaksa jugun ianfu menggugurkan kandungannya. Sekali lagi, jika mereka benar pelacur bukankah pelacur bekerja demi uang, namun menjadi jugun ianfu tak pernah atas nama uang, mereka bekerja demi nyawa.
Kini, anggaplah jugun ianfu sebagai Memento Passionis seperti diutarakan Walter Benjamin dengan inspirasi dari Emile Durkheim dan Henri Bergson, yang mengartikan Memento Passionis sebagai seluruh kisah peradaban dengan berbagai dimensinya, entah positif atau “terkesan membuka aib bangsa”, sejarah rakyat tanpa hegemoni dan legitimasi kekuasaan, sebuah pertanyaan muncul di benak saya: Perlukah mereka hidup dengan stigma pelacur demi menutupi aib bangsa ini? Seperti apa yang dinyatakan Sekjen Departemen Sosial, Asmono, 27 Desember 1996 berhubungan dengan dana kompensasi bahwa pemerintah Indonesia menolak dana kompensasi dari Jepang. Penolakan ini disertai dengan alasan:pertama, sulitnya membuktikan kebenaran korban pelecehan seksual; kedua, berkaitan dengan masalah moralitas bangsa, dalam arti jika pemerintah Indonesia menerima dana tersebut, sama dengan pemerintah Indonesia menerima perlakuan militer Jepang. Dengan kata lain, penolakan dana kompensasi berarti menghormati wanita Indonesia.
Saya pikir tidak demikian. Katakanlah dengan penolakan itu, bangsa Indonesia menjadi bangsa ideal, tapi apakah idealitas sejenis barter. Dalam barter, X memberi sesuatu kepada Y karena ia mengharap Y memberikan sesuatu sebagai imbalan. Pengingkaran kebenaran bagi saya hanya sebuah penundaan. Seperti pada rezim Soeharto yang berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang efisien: menyebarkan ketakutan yang ternyata runtuh karena ketakutannya sendiri. Dalam konteks merdeka, seharusnya kita sudah menyadari ada sesuatu yang boyak dalam bangsa ini. Sehingga kemerdekaan bangsa yang lahir sesudahnya dapat mengungkap kisah-kisah para Jugun Ianfu dan tidak terkesan membiarkan keberadaan para Jugun Ianfu menghilang begitu saja tanpa ada pelurusan stigma bagi mereka.
Dalam frame ini, dapat disebutkan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” (UUD 1945 yang diamandemen Pasal 28 I, bdk. UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 208 Tahun 2000, yang dalam Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 35 menyebutkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Karena itu, setiap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat ataupun ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi).
Selain itu, "Perempuan korban kekerasan seksual juga sedang dibungkam oleh keluarga dan komunitas mereka sendiri, karena mereka memprioritaskan keselamatan dan ingin menghindari aib dan rasa malu budaya yang melekat pada 'dosa' dari wanita ini." Hilde Jansen, wartawan asal Belanda. Hal ini juga yang menyebabkan kegagalan suatu sistem pelurusan fakta bagi eks. jugun ianfu. Akhirnya, kekerasan tak terbendung dari masyarakat bahkan melalui generasi didapat. Padahal, sanksi sosial dari masyarakat selalu mereka alami: dijauhi, dicemooh, dianggap sebagai “ransum Jepang”, dipinggirkan secara politik dan ekonomi. Beban psikologis yang dipikul oleh mereka dan anak-cucu mereka melahirkan pertanyaan atas tanggung jawab pemerintah berupa rehabilitasi dan restitusi atas mereka.
Dalam mengatasi masalah jugun ianfu, sebuah usulan menarik tentang urgensitas penetapan sebuah peraturan pemerintah demi menjamin keadilan bagi para Jugun Ianfumemang sering digulirkan. Alasannya ialah agar penanganan kasus ini dapat diselesaikan demi tegaknya keadilan bagi para Jugun Ianfu. Pengungkapan kebenaran dan sosialisasi di masyarakat memang perlu segera dilakukan guna menghapus stigma negatif. Hal ini juga dimaksudkan agar penyelesaian masalah ini tidak mati di tengah jalan. Pemerintah Jepang dan Indonesia harus jelaskan kepada publik, khususnya generasi muda mengenai jugun ianfu melalui pendidikan. Integrasi masalah jugun ianfu dalam pelajaran sejarah adalah salah satu bentuk pendidikan nyata yang harus dilakukan. Semua hal ini dimaksudkan agar stigmatisasi yang dialami oleh jugun ianfu berhenti dan pengartian jugun ianfu oleh masyarakat khususnya generasi muda menjadi benar dan jelas.
"Saya pikir kita tidak hanya hidup untuk diri kita sendiri, saya pikir kita harus mencoba untuk memainkan peran dalam masyarakat dengan cara apapun yang kita miliki. Kami ingin membawa cerita ini (jugun ianfu) ke permukaan. " tutur Hilde Jansen