Selasa, 30 Juli 2013

Menopause Jugun Ianfu

Hanya ingin berbagi dan tak perlu dikomentari, semoga bermanfaat untuk menambah pengetahuan sekaligus mengenang kedudukan perempuan pada masa dahulu




 MENOPAUSE JUGUN IANFU
Jugun Ianfu: Saya Bukan Pelacur

Stigma: mengakibatkan kesakitan. Bahkan kematian. Kata yang berasal dari bahasa Yunani untuk menyebut semacam tanda yang diterakan dengan luka bakar atau tato ke kulit seorang hukuman, pelaku kriminal, budak, atau pengkhianat. Pada awalnya, ia hanya gonjang-ganjing kisruh yang membadai namun perlahan stigma menjelma bak ideologi baru yang dipertahankan. Maka di situlah dimulai klasifikasi manusia dan stigma memasang tonggak dan pagarnya.
Alkisah, di negeri dengan 220 juta penduduk ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di 17 ribu pulaunya, terdapat 10.000-15.000 wanita Indonesia yang pernah memenuhi kebutuhan biologis 280.000 tentara Jepang sekitar satu abad lalu. “Pelacur” sebut sebagian orang. “Ransum Jepang” kata sebagian yang lain. Namun ada yang mengatakan wanita-wanita tersebut bukan pelacur, sundal, pun sinonimnya, mereka adalah jugun ianfu. Pada diri mereka ditanamkan representasi pelacur terhadap realitas bahwa mereka korban penjajahan Jepang. Pemberian nama pelacur hanya usaha untuk menguasai dan sekaligus mengasingkan “apa yang tak diketahui”, the unknown. Dengan latar seperti itu, bila antara pelacur dan jugun ianfu tak ada “diastatasis”, hanya mungkin ada dialektika dan tipu, masihkah jugun ianfu sebagai pelacur dalam stigma?
Pelacur menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah perempuan yang melacur; tunasusila. Sedangkan jugun ianfu secara harfiah, ju=ikut, gun=militer/balatentara, ian=penghibur, dan fu=perempuan, dengan demikian arti jugun ianfu adalah “perempuan penghibur yang ikut militer”. Sesuai namanya, sejak tahun 1942-1945 mereka diharuskan untuk memenuhi kebutuhan biologis tentara militer Jepang secara kasar, tidak manusiawi dan dalam jumlah besar. Maria Rosa, seorang mantan jugun ianfu menuturkan bagaimana perlakuan kasar tentara Jepang terhadap dirinya: “Ketika tentara “melecehkan”, saya merasa seperti “binatang”. Kadang-kadang mereka mengikat kaki kanan saya dengan sebuah ikat pinggang dan menggantungkannya pada paku di dinding saat mereka memperkosa. Saya marah sepanjang waktu tapi tidak ada yang bisa dilakukan”.
Jugun ianfu dengan label absurditas dan abnormalitas, sangat mengerti mereka telah melawan rambu normalitas ataupun mainstream budaya namun cara-cara kekerasan, tipu muslihat, ancaman, dan teror tentara Jepang berhasil menaklukan mereka dan tak ada pilihan lain selain menjadi jugun ianfu. Seandainya mereka benar pelacur, seharusnya ada pilihan bagi mereka. Sayangnya menjadi jugun ianfu bukan kata iya atau tidak yang menjadikannya, keadaan dan paksaanlah yang memilih mereka. Salah satu sumber berasal dari Soeryono Hadi, seorang mantan anggota pimpinan LKBN Antara Perwakilan Surabaya: “...dalam tahun 1943 kakak saya mengatakan bahwa Pemerintah Balatentara Pendudukan Dai Nippon menyerukan kepada setiap orang tua yang mempunyai anak gadis agar segera mendaftarkan kepada pemerintah akan anak gadisnya tersebut. Adapun maksud pendaftaran, menurut keterangan Pemerintah Dai Nippon pada waktu itu, mereka akan disekolahkan..” Tidak ada kecurigaan pada pendaftaran itu, karena pada masa itu, masyarakat Indonesia menganggap Jepang sebagai pahlawan dan menaruh harapan besar terhadap mereka (Adams, 1966: 210). Selain itu, Pramudya Ananta Noer dalam bukunya berjudul “Perawan Muda dalam Cengkeraman Militer” mencatat beberapa alasan lain,Pertama, gadis-gadis tersebut mempunyai hati penuh berisikan cita-cita mulia untuk maju dan berbakti pada masyarakat dan bangsanya. Kedua, keadaan hidup yang mencekik.Ketiga, peran orang tua yang bekerja mengabdi pada Jepang.
Sebagaimana disebutkan salah satu arsip Universitas Sumatera Utara dengan judul Jugun Ianfu, Eksploitasi perempuan pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), sebelum dipekerjakan, perempuan yang akan dijadikan jugun ianfu diperiksa kesehatannya, dipotret, diberi nama Jepang, dan ditempatkan pada kamar berukuran 3 x 2,5 m2, Emah Kasimah misalnya, mendapat nama Miyoko. Seorang jugun ianfu harus digilir 10-20 tentara Jepang karena tentara Jepang sangat banyak tiap harinya. Pernah saya baca dalam Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang, salah seorang di antara perempuan-perempuan itu mencoba menolak karena kencingnya sudah berdarah dan terasa nyeri. Sementara alat kelaminnya sudah berlendir dan mengeluarkan bau setumpukan bangkai tikus. Tubuhnya demam dan panas tinggi. Wajahnya sepucat mayat dan sudah tidak bisa berjalan karena seluruh belulangnya seakan remuk. Ia sudah tidak mampu melayani pejantan-penjantan itu. Namun bukannya dibawa ke dokter atau diberi obat, perempuan itu malah dipaksa digilir para tentara Jepang. Kepalanya dijambak sampai wajahnya tengadah. Ia ditempeleng sampai mulutnya berdarah. Akhirnya, ia tergeletak seperti mati di atas muntahan amisnya.
Dalam buku yang sama, ada juga cerita yang saya baca tentang bagaimana tentara Jepang itu menungganggi para perempuan itu dari depan dan belakang sambil mengayun-ayunkan ikat pinggang mereka sampai tubuh perempuan itu berbilur biru. Mereka seperti koboi dalam pertandingan pacu kuda. Begerak turun-naik, maju-mundur sambil mengayunkan pecut agar kudanya semakin kuat bergerak.
Untuk ‘memakai’ jugun ianfu sendiri, Tentara Jepang harus membeli tiket seharga 2,5 yen untuk tentara dan 3,5 yen untuk sipir. “Tapi saya tidak pernah dapat uang yennya,” kata Mardiyem. Jelas mereka tidak pernah dibayar, juga tak berani meminta bayaran. Tidak ada hari libur dan jam istirahat. Bahkan dalam keadaan haid pun, mereka tetap dipaksa mengangkangkan selangkangan. Derita kian bertambah ketika mereka hamil. Dokter setempat memaksa jugun ianfu menggugurkan kandungannya. Sekali lagi, jika mereka benar pelacur bukankah pelacur bekerja demi uang, namun menjadi jugun ianfu tak pernah atas nama uang, mereka bekerja demi nyawa.
Kini, anggaplah jugun ianfu sebagai Memento Passionis seperti diutarakan Walter Benjamin dengan inspirasi dari Emile Durkheim dan Henri Bergson, yang mengartikan Memento Passionis sebagai seluruh kisah peradaban dengan berbagai dimensinya, entah positif atau “terkesan membuka aib bangsa”, sejarah rakyat tanpa hegemoni dan legitimasi kekuasaan, sebuah pertanyaan muncul di benak saya: Perlukah mereka hidup dengan stigma pelacur demi menutupi aib bangsa ini? Seperti apa yang dinyatakan Sekjen Departemen Sosial, Asmono, 27 Desember 1996 berhubungan dengan dana kompensasi bahwa pemerintah Indonesia menolak dana kompensasi dari Jepang. Penolakan ini disertai dengan alasan:pertama, sulitnya membuktikan kebenaran korban pelecehan seksual; kedua, berkaitan dengan masalah moralitas bangsa, dalam arti jika pemerintah Indonesia menerima dana tersebut, sama dengan pemerintah Indonesia menerima perlakuan militer Jepang. Dengan kata lain, penolakan dana kompensasi berarti menghormati wanita Indonesia.
Saya pikir tidak demikian. Katakanlah dengan penolakan itu, bangsa Indonesia menjadi bangsa ideal, tapi apakah idealitas sejenis barter. Dalam barter, X memberi sesuatu kepada Y karena ia mengharap Y memberikan sesuatu sebagai imbalan. Pengingkaran kebenaran bagi saya hanya sebuah penundaan. Seperti pada rezim Soeharto yang berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang efisien: menyebarkan ketakutan yang ternyata runtuh karena ketakutannya sendiri. Dalam konteks merdeka, seharusnya kita sudah menyadari ada sesuatu yang boyak dalam bangsa ini. Sehingga kemerdekaan bangsa yang lahir sesudahnya dapat mengungkap kisah-kisah para Jugun Ianfu dan tidak terkesan membiarkan  keberadaan para Jugun Ianfu menghilang begitu saja tanpa ada pelurusan stigma bagi mereka.
Dalam frame  ini, dapat disebutkan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” (UUD 1945 yang diamandemen Pasal 28 I, bdk. UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 208 Tahun 2000, yang dalam Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 35 menyebutkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Karena itu, setiap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat ataupun ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi).
Selain itu, "Perempuan korban kekerasan seksual juga sedang dibungkam oleh keluarga dan komunitas mereka sendiri, karena mereka memprioritaskan keselamatan dan ingin menghindari aib dan rasa malu budaya yang melekat pada 'dosa' dari wanita ini." Hilde Jansen, wartawan asal Belanda. Hal ini juga yang menyebabkan kegagalan suatu sistem pelurusan fakta bagi eks. jugun ianfu. Akhirnya, kekerasan tak terbendung dari masyarakat bahkan melalui generasi didapat. Padahal, sanksi sosial dari masyarakat selalu mereka alami: dijauhi, dicemooh, dianggap sebagai “ransum Jepang”, dipinggirkan secara politik dan ekonomi. Beban psikologis yang dipikul oleh mereka dan anak-cucu mereka melahirkan pertanyaan atas tanggung jawab pemerintah berupa rehabilitasi dan restitusi atas mereka.
Dalam mengatasi masalah jugun ianfu, sebuah usulan menarik tentang urgensitas penetapan sebuah peraturan pemerintah demi menjamin keadilan bagi para Jugun Ianfumemang sering digulirkan. Alasannya ialah agar penanganan kasus ini dapat diselesaikan demi tegaknya keadilan bagi para Jugun Ianfu. Pengungkapan kebenaran dan sosialisasi di masyarakat memang perlu segera dilakukan guna menghapus stigma negatif. Hal ini juga dimaksudkan agar penyelesaian masalah ini tidak mati di tengah jalan. Pemerintah Jepang dan Indonesia harus jelaskan kepada publik, khususnya generasi muda mengenai jugun ianfu melalui pendidikan. Integrasi masalah jugun ianfu dalam pelajaran sejarah adalah salah satu bentuk pendidikan nyata yang harus dilakukan.  Semua hal ini dimaksudkan agar stigmatisasi yang dialami oleh jugun ianfu berhenti dan pengartian jugun ianfu oleh masyarakat khususnya generasi muda menjadi benar dan jelas.
"Saya pikir kita tidak hanya hidup untuk diri kita sendiri, saya pikir kita harus mencoba untuk memainkan peran dalam masyarakat dengan cara apapun yang kita miliki. Kami ingin membawa cerita ini (jugun ianfu) ke permukaan. " tutur Hilde Jansen

Jumat, 26 Juli 2013

Dengan Senyuman

Sekarang kita sudah sama-sama dewasa
Bukan saatnya lagi untuk mempertanyakan apa yang dahulu kita sama-sama tanyakan
Terlalu bodoh rasanya untuk menangis di waktu sekarang dengan alasan seperti itu
Saya dan kamu memang mungkin begini jalannya

Tak apa
Mungkin waktu menjawab untuk kita tanpa perlu kita yang memutuskan
Kamu yang berjalan ke kiri dan saya yang berjalan ke kanan
Pada jalan itu mungkin kita akan menemukan sesuatu yang bisa menggantikan posisi masing-masing dari kita

Saya tidak pernah menyalahkan kamu, begitu pun sebaliknya
Kita sama-sama tahu pada suatu keadaan dimana harapan yang seperti angin
Kadang menyejukkan, kadang membuat masuk angin juga
Mungkin harapan pada saat ini adalah harapan yang membuat masuk angin
Jadi, untuk mengobatinya, kita harus menghilangkannya

Jangan pikir saya tidak sedih dengan cara pengobatan itu
Saya (masih) manusia
Saya punya rasa untuk mengerti
Tapi kita sudah dewasa, saatnya untuk mengerti bahwa kita tidak bisa terus dalam keadaan sakit
Saya ingin sembuh

Salah saya, yang membiarkan harapan itu menggantung dan kamu yang tidak juga mengucapkannya
Tak apa
Saya sudah mengikhlaskannya
Saya harap kamu juga

Kini di waktu yang kita sudah sebut dewasa
Masing-masing dari kita mulai berjalan kembali
Mungkin kita juga sudah mulai mengerti maksud pengobatan itu
Kita juga tidak memaksakan perasaan ini kembali seperti dulu

Selamat tinggal
Selamat dengan jalan kirimu dan saya dengan jalan kanan saya
Kita berpisah
Berpisah dengan senyuman



Dari saya dengan curiga dan gosip yang menyertai tulisan ini

He

Wake up time is running out
And i'm crying out loud
I'm sick, i'm fall
And no one understand

Suddenly...
You came and try to calm me down
But no one woulds ever make me fine
Breathing with nothing to hold on
My tears stream down

I scream aloud with pain
Try to love someone but i can't
I'm begging for some care
Not some shit i used to bear

You know about it
But you never go away from me
Wipe my cold tears with your warm hands
Wrap my pain with your care
And you fix me

Thank you
From my deepest heart to you

Selasa, 23 Juli 2013

Karena Sahabat Cuma Rumput



Berkata orang timur padaku, 
bahwa kamu adalah matahari yang menyinari kehidupan, aku pun diam menanti kmudian aku pun berkata tidak kamu bukan matahari! karena matahari hanya ada pada siang hari sedang dirimu selalu hadir di siang malam hidupku 

Mulai orang barat berucap, bahwa kamu adalah bintang dalam kehidupan aku pun terdiam dan berkata tidak! kamu bukan bintang! karena bintang sangat banyak, berjuta-juta bahkan tak terhingga sedangkan kamu hanya satu di hatiku 

Orang utara pun berkata kamu adalah keping es, mampu mendinginkan setiap amarah di dunia, kembali ku berkata tidak! kamu bukan keping es yang rapuh! kamu kuat! terlalu kuat hingga kamu bisa menjagaku dari jahat hati orang! 

Berkata orang selatan kepadaku bahwa kamu adalah bunga di hati! tidak bagiku! bunga bisa layu dan gugur teman tapi kamu mengabadi di hati ini! 

Semua orang pun terdiam, dan aku pun berkata! kamu adalah rumput yang terinjak, jelek dan hina! ya rumput yg terinjak, tapi anehnya tak pernah mati! tak pernah mati! krna aku tahu bahwa kamu terlalu kuat hingga tahan segala gangguan! kamu memang jelek teman karena kamu ingin apa adanya di mataku! tak pernah kamu bersombong padhal jamrud, shapir, topas kalah bersaing denganmu! dan kamu memang hina dan itulah yang kamu ajarkan kepadaku, tak ada manusia yg bersih dalam kehidupan, kamu ajarkan kepadaku tentang hina yang membuatku menjadi berendah dan mau memaafkan! pula kamu ajarkan bahwa manusia adalah sama! sama-sama hina karena dosa! itulah kamu, sahabatku

Dari aku dan 8 fokus yang terbagi

Jumat, 19 Juli 2013

It's All about My Teacher, I Call His Pak PJ



Pada bulan yang tak pernah saya ingat, untuk pertama kalinya saya menangis karena sebuah perpisahan. Juga untuk pertama kalinya, saya menemukan persamaan yang selama ini saya kais-kais antara saya dan seorang guru. Padahal “sesuatu” itu ada di bawah hidung saya, di atas kaki saya, bersemayam dalam diri tanpa saya sadari. Mungkin saya hanya membutuhkan sebuah peristiwa hebat untuk menemukannya.  Yah, perpisahan saya dan pak panjaitan, mungkin peristiwa hebat yang saya katakan sebelumnya punya pro dan kontra, tapi setidaknya itu hebat dan mengubah mindset saya tentang arti seorang pendidik.
Saya tidak akan pernah lupa momen itu. Saya akan berbagi dengan jujur tentang pengalaman saya pada posisi sebagai si penerima reaksi.  Perpisahan  antara saya dan guru matematika saya. Jujur, ia bukan guru yang saya favoritkan atau lebih dari itu. Hubungan mempunyai masa kadaluarsa. Dan pada saat itu hubungan saya dan Pak Panjaitan sebagai seorang murid telah mengalami masa kadaluarsa.
***
Pak Panjaitan adalah seorang guru yang pasti tidak mudah dilupakan oleh murid-muridnya bahkan hingga ayah saya yang juga muridnya masih mengingat baik bagaimana sikap dan cara Pak Panjaitan mengajar. Bagaimana tidak, setiap kali mengajar Pak Panjaitan selalu membawa penggaris kayu 1 meter di tangan kirinya sedangkan tangan yang lainnya memegang buku. Setiap jalan yang ia lewati pun selalu sepi seperti seorang Presiden yang sedang melintas. Bukan hal aneh jika kamu ada di posisi sebagai murid Pak Panjaitan. Murid-murid yang ada di sana entah kenapa seperti punya radar Neptunus yang ketika salah satu tanda kemunculan Pak Panjaitan terlihat maka anak-anak segera masuk kelas dan duduk rapi dengan sendirinya.
Hal ini bukanlah hal paling menakutkan bagi murid-murid. Menurut mereka ini adalah awal dari ketakutan. Dengan logat Bataknya yang khas, Pak Panjaitan menjelaskan pelajaran yang menjadi momok paling menakutkan untuk anak seumuran kami.  Dan kata mereka hal yang paling menakutkan ketika ia mengajar adalah ketika ia mengajarkan tentang lingkaran. Kalian pasti tahu jangka kayu untuk papan tulis. Dengan ujung paku dan panjang sekitar setengah meter. Kalian tentu bisa membayangkan, bagaimana Pak Panjaitan dengan mulut sedikit menggerutu setelah mengomel, menancapkan paku besi di papan tulis hingga berbunyi hanya untuk membuat satu lingkaran.
Pernah suatu kali, di pelajaran kelas lain penggaris kayu Pak Panjaitan tertinggal. Entah siapa yang punya ide langsung saja penggaris kayu tersebut disembunyikan. Katanya biar Pak PJ (panggilan akrab untuk Pak Panjaitan) tidak mukul-mukul papan tulis lagi pakai penggaris kayu. Dan walllaaaahhh setelah penggaris kayu disembunyikan, Pak PJ tidak memukul dengan penggaris lagi tetapi memukul dengan penghapus dan tangan juga ditambah tatapannya yang lebih cetar membahana badai.
Di dalam kelas, tak ada murid-murid yang berani mengobrol ketika pelajaran berlangsung. Ketika ada murid yang ketahuan mengobrol maka Pak Panjaitan akan segera mengeluarkan jargonnya yang terkenal dari tahun ke tahun.
“Kalian ketawa saja! Seperti ayam makan garam!”
“Hai boru! Kamu mengerti tidak jangan hanya banyak bicara di sini!”

Tentu saja murid-murid yang lain akan tertawa melihat apa yang diucapkannya tetapi karena rasa takut maka murid-murid hanya tersenyum di balik tangannya. Dan bagi saya sendiri, Pak PJ sejujurnya bukan sosok yang menakutkan. Ia menjadi menakutkan hanya karena stigma yang sudah ada selama bertahun-tahun di sekolah. Selain itu, karena aktif dalam beberapa kegiatan sekolah, saya bisa mengenal lebih dekat dengan sosok guru-guru. Semakin saya mengenal siapa sosok guru, rasa hormat saya bukan bertambah malah semakin berkurang. Semakin lama saya malah cenderung untuk tidak menyukai mereka. Alasan saya pada saat itu sangat sederhana, saya tidak menyukai tindakan yang dilakukan beberapa guru saya terhadap saya dan teman-teman. Bagi kami, tindakan mereka sangat tidak berwibawa. Karena kebencian kepada beberapa guru itulah, rasa wibawa dan segan yang saya berikan untuk guru berkurang.
            Begitu pun dengan Pak Panjaitan, beberapa kali saya sering nakal dalam kelasnya. Saya pernah membolos ketika pelajarannya, pernah mengobrol, pernah membawa makanan ke dalam kelasnya, pernah izin keluar ke toilet padahal saya pergi dan mengobrol serta kembali dengan membawa barang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelajaran matematika. Saya akui saya memang salah tapi tidak ada alasan yang menyadarkan saya kenapa saya harus berubah.
            Hingga akhirnya perpisahan itu datang. Semua anak yang mengenal Pak PJ pasti tahu bahwa Pak PJ adalah seorang guru yang sangat teguh pendiriannya. DI dalam pendiriannya itu, Pak PJ tak pernah mau menerima hadiah atau apapun selain haknya mengajar, yaitu gaji yang ia peroleh setiap bulannya. Banyak guru yang menerima hadiah, cinderamata, makan-makan tetapi Pak PJ tak pernah saya lihat mengikuti atau menerima hal-hal seperti itu. Pada saat acara HUT PGRI pun Pak PJ tidak mau untuk menerima hadiahnya padahal hadiah itu adalah perhargaan terhadap dedikasinya dan hanya 2 guru yang mendapatkannya, salah satunya adalah Pak PJ.
            Dan Pak PJ adalah Pak PJ. Walaupun itu adalah hadiah perpisahan dari murid-muridnya, ia tetap tidak mau menerima. Pada saat acara itu, saya datang terlambat dan yang saya lihat adalah teman-teman saya yang menangis. Katanya Pak PJ tidak mau menerima hadiah dari kita dan menyuruh kita pulang. Perlu digaris bawahi bahwa mereka, teman-teman saya menangis bukan karena rasa takut atau marah terhadap perlakuan Pak PJ tapi itu semua karena rasa sedih dan kecewa karena mereka sebagai murid-muridnya tidak bisa memberikan apa-apa jika benar Pak PJ keluar dari sekolah. Akhirnya setelah didesak oleh beberapa teman. Saya memberanikan diri untuk berbicara dengan Pak PJ. Pada saat saya ingin berbicara, teman saya yang terlebih dahulu bicara terlihat diusir dan membalikkan badannya.
            Entah ada rasa apa, saya tetap maju dan berjalan santai ke hadapan Pak PJ. Sebelum saya bicara, Pak PJ sudah berbicara terlebih dahulu.
“Kalau kau mau membujuk saya menerima hadiah itu, maka pulang saja kau. Aku tidak akan menerima hadiah itu” tutur Pak PJ
“Enggak ko pak, saya baru datang dan hanya ingin salim sama bapak” lidahku berbicara sendiri
“ Oh kalau salim, aku terima” jawab Pak PJ sambil menyodorkan tangannya
“Oh ya pak, hari ini, hari terakhir Bapak datang ke sekolah ya pak?” basa-basi sebagai taktik pun dikeluarkan.
“ Iya, besok saya sudah ke Medan…“
Setelah basa-basi yang cukup lama akhirnya topik pembicaraan berubah ke cinderamata atau hadiah dari anak-anak untuk Pak PJ.
“Saya mengajar kalian bukan karena hadiah. Saya juga mengajar kalian bukan karena mengharapkan sesuatu yang bisa kalian balas kepada saya suatu hari. Melihat kalian berhasil sudah menjadi hadiah untuk saya. Saya berhenti mengajar juga karena sudah waktu saya untuk berhenti dan tidak perlu kalian memberikan semua ini. Saya menghargai apa yang kalian lakukan ini. Tapi cukuplah rasanya yang saya ambil tidak perlu barangnya pula saya ambil. Saya mengajar kalian dengan ikhlas.” Tutur Pak PJ tulus
Jika ini diucapkan oleh guru-guru yang lain, saya tentu menganggap ini klise. Tapi karena ini adalah Pak PJ, ucapan seperti itu adalah ucapan yang jujur datang dari dirinya. Saya baru menyadari bahwa Pak PJ adalah guru yang seharusnya saya banggakan karena mempunyai kewibawaan dan prinsip yang tinggi. Karena peristiwa itu, pandangan dan mindset saya berubah dan akhirnya saya memilih untuk menjadi seorang calon guru matematika. Oh ya, pada akhirnya Pak PJ menerima hadiah dari kami, butuh waktu dan air mata loh untuk membujuk cenderung memaksa Pak PJ.

Rabu, 17 Juli 2013

Selembar daun


Hati saya selembar daun
Pergi meninggalkan batang, ranting
Dimainkan angin
Dan tergeletak di tanah

Biar, biarkan saya di sini
Saya ingin menatap langit lebih lama
Saya ingin hening, saya ingin tenang
Saya ingin batang dan ranting berdamai

Jangan, jangan bawa saya ke sana kembali untuk saat ini
Saya ingin mereka berdamai dahulu
Saya ingin mereka berbicara tanpa nada tinggi
Saya ingin mereka saling memahami

Maka biarkan sampai saat itu tiba, saya tetap menjadi selembar daun

Selasa, 16 Juli 2013

Hati yang Aku Pungut Tadi Pagi



Hati yang aku pungut tadi pagi berwarna merah
Berbentuk lingkaran dengan pita ungu menghiasi kelilingnya

Hati yang aku pungut tadi pagi masih utuh
Tanpa cela dan ku gantungkan tinggi lebih dari otak

Hati yang aku pungut tadi pagi kini kau minta kembali
Ikhlas atau tidak, kau tetap memaksa memintanya kembali

Ini hati yang aku pungut tadi pagi, kataku
Itu hati yang bukan milikmu, katamu padaku
Oh benar, aku lupa
Aku hanya memungutnya tadi pagi
Aku lupa tadi pagi atau sebelumnya hati itu bukan milikku
Dan aku ingat, hati yang aku temukan tadi pagi
Kau ambil dan kau serahkan pada orang lain yang memilikinya
Bukan kepada orang yang memungutnya tadi pagi dan merawatnya dengan hati


Dari aku yang memungut hati tadi pagi dan hancur pada malamnya

Saya dan Hati


Hari ini saya sadar
Ada kesalahan antara saya dan hati
Saya yang terlalu naif
Dan hati yang terlalu jujur

Tapi pentingkah hati pada hari ini, di masa ini
Toh semua kembali tertutup pada saya yang mendominasi
Saya memang berharap ini tidak benar
Saya memang berharap mendapat teguran hingga mengubah hati dan diri

Saya lelah

Hanya itu.

Rabu, 03 Juli 2013

Aku Tahu Sekarang

Aku tahu di dini pagi ini,
maka dalam waktu itu, hari ini, pada hati aku mengaku
           ...
Aku oleng, jatuh, dan ini bukan karena gravitasi
butuh waktu lama untuk menyadarinya
dan aku mengakuinya sekarang

Seperti daun yang jatuh
seperti suara Pak PJ yang marah
seperti tulisan Pak Pur yang membingungkan
Itu semua menganggu

Andai ia yang lain datang kembali
ini semua akan lebih mudah
tapi ia tak pernah datang
juga
tak pernah mengucapkan selamat berpisah

Kini, kembali aku jatuh
dalam situasi yang sama
Bodoh atau sialkah aku Tuhan?

Dari aku yang berharap tahu apa jawaban Tuhan untukku