Suatu kali di malam yang dingin, di tepi
sebuah jalan di pinggiran Jakarta, saya pernah ditanya seorang penjaga warung
makan. “Tahukah Mbak,” tanyanya, “Betapa susahnya saya untuk memasak ratusan
butir beras menjadi nasi seperti ini tetapi betapa mudahnya para pembeli untuk
tidak menghabiskan nasinya dan meninggalkannya yang kemudian akan saya buang
percuma ke tempat sampah”. Saya yang ditanya sebenarnya mengerti perasaan sang
penjaga warung makan namun hanya dapat menjawab dengan anggukan kepala. Sang penjaga
warung makan pun melanjutkan, “Saya yang hanya memasak beras menjadi nasi saja
merasa terganggu dengan kelakuan pembeli yang tidak menghabiskan nasinya
apalagi petani yah yang perlu waktu hingga 6 bulan untuk menghasilkan satu
butir beras.” Dari pertanyaan tersebut, rupanya penjaga warung makan itu ingin
bicara soal cara manusia dalam memperlakukan makanan. Memang Indonesia negara
yang kaya akan sumber daya alam hingga rakyatnya dapat hidup nyaman berlebihan
bahkan hingga melakukan pemborosan seperti contoh di atas. Namun masyarakat
Indonesia lupa bahwa kini zaman melesat dan keadaan berubah, dengan laju pertumbuhan penduduk 1,3 hingga
1,5 persen, sementara luas lahan pertanian yang tidak mengalami penambahan,
Indonesia diprediksi akan mengalami krisis pangan di tahun 2017.
Dalam UU Tentang Pangan Nomor 18 Tahun 2012
dijelaskan bahwa “Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan
air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan
atau pembuatan makanan atau minuman.” Pangan berarti bukan hanya beras atau komoditas
tanaman seperti padi, jagung, dan kedelai saja, melainkan juga mencakup makanan
dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Dengan demikian, pangan tidak
hanya dihasilkan oleh pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, dan
kehutanan, tetapi juga oleh industri
pengolahan pangan. Kebutuhan pangan yang cukup tidak hanya bergantung
pada jumlah tetapi juga dari keragamannya, sebagai sumber asupan zat gizi makro
(yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak) dan zat gizi mikro (yang
meliputi vitamin dan mineral) untuk pertumbuhan, kesehatan, daya tahan fisik,
kecerdassan dan produktivitas manusia.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang
paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Seseorang, rumah tangga, sampai sebuah negara ataupun bangsa akhirnya akan
menjadi “galau” apabila urusan perut ini tidak terpenuhi. Masalah kedaulatan
pangan menjadi hal serius yang patut dipandang lebih dalam upaya pemecahan
solusi yang sudah lama dicari. Saat ini hampir 870 juta orang di seluruh dunia
menghadapi kekurangan gizi secara kronis akibat masalah ketahanan pangan yang
tidak dapat diatasi oleh negaranya masing-masing. Setiap 1 orang dari 10 orang
di dunia di malam hari tidak bisa tidur nyenyak karena perutnya lapar dan tidak
cukup mendapatkan kebutuhan pangan dalam kehidupan sehari-harinya. Begitu
banyak agenda kegiatan yang direncanakan dalam upaya menghadapi krisis pangan
di Indonesia sendiri, namun rencana yang ada tidak berjalan optimal dan kerap
kali justru muncul penolakan dari berbagai pihak. Seperti program padi hibrida yang
tidak menguntungkan rakyat Indonesia karena mengimpor jenis bibit padi ini dari
China, India, sebagian kecil Amerika, dan Filipina yang justru membuat petani
Indonesia gagal panen. Pemerintah pun tidak memperbesar anggaran untuk petani
atau nelayan kecil, tetapi mengundang investor. Selain itu, pemerintah tidak
melihat potensi lokal, tetapi terus meningkatkan impor.
Potensi keanekaragaman sumber daya yang dimiliki
Indonesia juga disia-siakan dari sektor perairan. Rencana Anggaran Pembelanjaan
Kementerian Direktorat Jenderal Kelautan dan Perikanan tidak menjawab
permasalahan para nelayan. Hal ini terlihat dari tidak adanya program
pemerintah terkait illegal fishing, pencurian ikan di perairan Indonesia. Untuk
kasus pencurian ikan ini, pemerintah mencatat dalam 15 tahun terakhir terdapat
sepuluh negara berperan aktif mencuri ikan di perairan Indonesia, di antaranya
Filipina, Hongkong, Taiwan, Malaysia, dan China. Terhadap hal ini, pemerintah
tidak menyikapinya dalam anggaran
pemerintah di tahun 2013. Akibat hal ini, negara mengalami kerugian
sebesar Rp 30 triliun per tahunnya untuk ikan yang dicuri. Parahnya lagi,
pemerintah lebih banyak membangun pelabuhan perikanan berskala besar. Sementara
itu, nelayan kita adalah nelayan tradisional. Seharusnya, program yang dibuat
untuk menyejahterakan nelayan Indonesia adalah merevitalisasi tempat pelelangan
ikan. Sungguh ironis memang, mengingat Indonesia sebagai negara agraris justru
memenuhi kebutuhan pangan nasionalnya bergantung pada negara-negara lain.
Harapan Indonesia untuk menjadi negara yang berdaulat atas pangannya masih
sangat jauh.
Perubahan-perubahan kebijakan memang perlu
dilakukan diiringi denga penciptaan teknologi, pembangunan dan penataan kota
serta reformasi fundamental di bidang-bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan. Tetapi tanpa adanya perubahan
perilaku yang mendasar, tidak satu pun dari perubahan ini bisa terwujud. Oleh
karena itu, sudah seharusnya sebagai masyarakat Indonesia yang turut serta
menikmati sumber daya alamnya, kita juga menjaga kedaulatan pangan Indonesia.
Tidak adil rasanya bila kita terlalu banyak mengambil sesuatu yang seharusnya
menjadi hak generasi penerus kita kelak.
Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi yang
sangat penting bagi upaya meningkatkan ketahanan pangan khususnya di tingkat
lokal yang pelaksanaannya membutuhkan dukungan penuh dan konkrit dari semua
pihak dalam upaya untuk memampukan, melibatkan, dan memberikan tanggung jawab
yang lebih jelas kepada masyarakat dalam mengelola ketahanan pangan di tingkat
lokal. Masyarakat inilah yang disebut sebagai tentara pangan karena tugasnya hampir
mirip dengan tugas seorang tentara, yaitu untuk menjaga ketahanan dan
kedaulatan. Untuk meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai tentara pangan
dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan, antara lain pengembangan kapasitas
untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing, penyediaan fasilitas kepada
masyarakat, revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat.
Dalam rangka pengembangan kapasitas masyarakat
untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing dapat dilakukan melalui
peningkatan pengetahuan dan keterampilan dan pengembangan teknologi yang
berdasarkan spesifikasi daerah yang mempunyai keunggulan dalam kesesuaian
dengan ekosistem setempat dan memanfaatkan input yang tersedia di lokasi serta
memperhatikan keseimbangan lingkungan. Penyediaan fasilitas kepada masyarakat
tidak terbatas pengadaan sarana produksi, namun juga sarana pengembangan
agribisnis lain yang diperlukan seperti informasi pasar, peningkatan akses
terhadap pasar, penyediaan modal usaha dan membuka kerjasama dengan mitra usaha
lain. Dengan demikian lebih menjamin bahwa masyarakat tidak hanya memproduksi
pangan, namun mendapatkan keuntungan dari usahanya sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan hidupnya
Revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan
pangan masyarakat dimaksudkan untuk pengembangan lumbung pangan sebagai upaya
untuk menampung hasil dalam jangka waktu tertentu dan pemanfaatan potensi bahan
pangan lokal serta peningkatan spesifikasi berdasarkan budaya lokal sesuai
dengan perkembangan selera masyarakat yang dinamis. Selain itu dalam skala
rumah tangga, ibu rumah tangga juga perlu dikenalkan pada praktek ekoefisiensi
dalam mengolah makanan di rumah. Sejak kecil juga penting dididik agar makan
secukupnya dan tidak menghasilkan sisa makanan yang sebenarnya masih dapat
dimakan. Perilaku-perilaku kecil tersebut dapat menjadi besar asal dilakukan
dengan setia.
Sudah saatnya kita bergerak untuk ketahanan dan
kedaulatan pangan Indonesia. Jangan hanya menunggu pemerintah bertindak. Tidak
perlu juga menunggu para penjarah kekayaan sumber daya alam kita tertangkap,
setiap langkah kita adalah pilihan politis dan ekologis yang menentukan masa
depan pangan bumi khususnya Indonesia. Dan inilah bentuk pemberdayaan yang
nyata sekaligus sangat mungkin untuk dilakukan. Maka dari itu, mari menjadi
tentara pangan untuk Indonesia dan dunia yang lebih baik!