Rabu, 22 Januari 2014

In The Wee of Small Hours



In the Wee of Small Hours

                Ah, kamu pergi. Aku benci pada kamu yang pergi.  Aku benci di musim apa kita mesti berpisah tanpa membungkukan selamat jalan.  Aku benci berjalan sendiri mengikuti bayang-bayang yang memanjang di depan . Merenung sendiri dari balik jendela yang berembun.

                Iya KAMU! Kamu yang tidak bertengkar dengan waktu tentang siapa di antara kita yang menciptakan perpisahan. Kamu dan perpisahan yang tidak bertengkar  tentang siapa di antara kita yang menciptakan bayang. Kamu yang pernah datang dalam hidupku, mengajari aku banyak hal. Kamu yang dalam waktu singkat kukenal dan dalam waktu yang lama…masih kuingat

                Jika mengenal bulan harus menjadi bintang. Mengenal benua harus menjadi samudera. Mengenal pasir harus menjadi debu. Mengenal sinar harus menjadi berkas. Mengenalmu harus menjadi aku.

Aku mengenalmu dengan hebat.  Membuat seakan-akan aku telah berkenalan dengan dunia ini. Membuat alam terasa terkadang akrab, terkadang ganjil, terkadang menantang, terkadang membujuk.

Kini, ma(mp)ukah aku setelah menghabiskan separuh tawa, tangis, rindu, dan sakit denganmu . Menjadi dewasa bersamamu. Pada akhirnya, tiba di hari yang tiba-tiba. Pada hari yang tiba-tiba ada jarak antara aku, kamu, dan kata. Pada hari yang tiba-tiba engkau pun lengkap menerimanya dengan ikhlas. Ketika bertemu. Aku takut. Hanya bisa diam karena tak ada lagi yang bisa diceritakan. Tersenyum pura-pura dan menebak-nebak, selalu menebak-nebak.

But In the Wee of Small Hours, I believe you. Always.
          Jangan pejamkan matamu ya: aku ingin tinggal di hatimu yang teduh.               

Dari aku
Untuk kamu yang mendinginkan mataku

Selasa, 21 Januari 2014

Orang yang Kupilih

 Untuk satu nama. Yang tengah aku pendam dalam-dalam. Semoga kau datang bukan hanya untuk menepi. Datanglah untuk menetap



"My brain tells me it will be better to just let him go.
But my heart... not so much.” 


  Kepadamu, hati. Bersabarlah.
 Kamu harus mengerti, pembicaraan yang selalu berakhir ambigu ini. Aku dan dia memang harus seperti ini keadaannya. Aku tahu kamu lelah, begitu pun aku. Tapi aku wanita, tak ada yang bisa aku lakukan selain meyakinkan bahwa aku dan dia sekarang atau setidaknya dahulu pernah terikat pada satu hati.
Bersabarlah karena terkadang hati tumbuh dengan cara yang amat ganjil dan di tempat yang tak pernah disangka. Andai aku bisa membuat pilihan tapi sayangnya cinta tak pernah memilih, cinta selalu menemukan tempatnya sendiri untuk menetap.
Maka, kepadamu hati. Tetaplah untuk selalu dan senantiasa bersabar, harus.

Kepadamu, pria. Mengertilah.
Lamaku tunggu kata-kata, yang merangkul semua. Dan kini ku harap ku dimengerti. Walau sekali saja. Mengertilah bahwa aku menunggu. Mengertilah bahwa menunggu adalah pekerjaan yang (sangat) membosankan. Mengertilah bahwa menunggu dalam hampa bisa menyakitkan. Seharusnya, ya seharusnya hampa berarti tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa berarti tidak ada masalah. Termasuk rasa sakit.
Tapi ternyata sakit
Tapi ternyata aku tetap melakukannya. 
Bahkan ketika yang ditunggu berkali-kali tidak muncul, bahkan ketika situasi berganti menyebalkan, bahkan ketika orang lain sudah mengambil jalan lain, aku tetap melakukan hal yang sama: menunggu.
Terakhir mengertilah tentang kamu, tentang aku, tentang kita. Setiap saat. Dari waktu ke waktu. Karena ternyata mencintai tak cukup hanya sekali bagiku. Ini ku lalui, aku mencintai, bukan hanya dari mata jatuh ke hati, tapi caramu yang selalu menganggap aku berarti.
          Maka, kepadamu pria. Tetaplah untuk selalu dan senantiasa ada disampingku, mengertilah. 
          Dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.


Ini untuk kamu.
Bukan untuk 2 orang yang mendekati. Apalagi anak SMA itu.