Rabu, 09 April 2014

Susahnya Menjadi Orang Bodoh

Sebuah ide membakar pikiran saya berhari-hari.
Apa gerangan yang membuat seseorang harus menjadi pintar? Apa yang sesungguhnya terjadi ketika seseorang memutuskan ingin jadi bodoh? Apa yang dicari seorang “pintar” di dunia ini? Dinamika apa yang sebenarnya terjadi antara bodoh, orang bodoh, dan semesta raya? Memikirkan hal-hal tersebut membuat saya menapak tilas tentang kehidupan saya.

Suatu hari,
            Seorang sahabat saya di Perguruan Tinggi berkata “Tau gak yang menarik dari elu apa? Elu berani banget nyoba-nyoba, berkali-kali gagal tapi nyoba lagi. Entah elu bodoh atau pantang menyerah”
            Saya yang ditanya tentu saja hanya bisa tersenyum-senyum sendiri dan baru sekarang saya tahu apa maksud perkataan tersebut. Menjadi bodoh itu susah, makanya saya pantang menyerah hingga keliatan bodoh karena menjadi bodoh itu butuh banyak pengorbanan. Maka, karena menjadi bodoh dan pintar sama-sama membutuhkan pengorbanan, saya lebih memilih berjuang untuk menjadi pintar.
Jangan pikir bahwa kalimat tersebut datang dalam sekelabat waktu. Saya butuh bertahun-tahun dari hidup singkat yang Tuhan berikan untuk mencapai kesimpulan tersebut. Karena saya ingin orang lain lebih cepat sadar akan hal ini, maka saya menulis kisah ini. Kisah ini adalah pengalaman saya, mungkin orang lain akan belajar sesuatu dari hal ini sehingga di kemudian hari, ia pun dapat membagi pengalamannya juga kepada saya dan yang lainnya. Ini timbal balik yang begitu indah bukan?
***
            Lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang cukup bergengsi dan masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diremehkan telah membuat saya banyak diremehkan teman-teman saya.
“Kejauhan sel kalau SMA di sana dan mahal ongkosnya entar” begitulah alasan orang tua saya yang sudah menjelaskan bahwa tidak ada pilihan lain selain menerima keadaan.
            Malu jelas saya alami karena di saat teman-teman saya bersekolah di Sekolah A yang banyak artisnya, di Sekolah B yang banyak orang-orang pintarnya, saya hanya bisa bersekolah di sekolah yang bahkan tidak mempunyai ruang aula untuk kegiatan-kegiatan sekolah. Dan hal terburuk yang saya citrakan pada diri saya adalah saya bodoh dan mulai menjadi orang buangan.
            Saya mulai merasakan kebingungan dan ketakutan bahkan muak setengah mati dengan hidup saya. Saya mulai untuk malas belajar, malas bersekolah, bahkan malas berpikir. Jujur sebenarnya saya tidak sebodoh itu sebelumnya, saya adalah salah satu siswa berprestasi di SMP saya dulu. Tapi semua pemikiran ini membuat saya bodoh dan saya benar-benar menjadi bodoh. Nilai-nilai rapot saya menurun drastis, jika dahulu nilai matematika saya selalu di atas 9, di SMA nilai matematika saya bahkan tak pernah mencapai nilai 7, selalu di bawahnya. Kemampuan berbahasa saya yang dahulu fasih pun menjadi kaku, lama tidak digunakan.
            Akhirnya saya benar-benar percaya bahwa saya bodoh. Saya tidak secure  lagi dengan kecerdasan saya. Ini bukan fase terparah dalam hidup saya. Karena setelah pembagian rapot tersebut, mulailah banyak orang yang menyebut saya bodoh, dari teman sampai bahkan guru. Yang tidak pernah dan sangat menjaga mulutnya dari mengatakan saya bodoh, adalah orang tua saya.
            Ayah saya yang jago hukum dan bahasa hanya bisa terdiam ketika melihat anaknya mendapat angka 5 di rapot untuk Bahasa Jepang. Ibu bahkan kalau kekesalannya memuncak atas kelakuan saya, paling ekstrim mengucap  bodoh dengan kata tidak pintar.
“Sell, ko gitu sih? Jangan jadi orang tidak pintar dong nak”
            Tapi sialnya, dulu dalam sehari, saya lebih sering bertemu guru dan teman  daripada orang tua dan ucapan mereka bahwa saya bodoh, meresap ke benak dan bawah sadar. Dan karena saya minder dengan kecerdasan saya, saya mudah tersinggung ketika disebut salah, ketika gagal, ketika kalah. Tersinggung karena seakan semua itu pertanda bahwa saya (benar) bodoh.
Akhirnya, saya menemukan titik balik dalam kehidupan saya. Melalui OSIS, hidup saya mulai bertransformasi, tentu ke arah yang lebih baik. Di sana, di keluarga baru saya, saya melihat banyak orang hebat. Okky yang begitu diremehkan karena kekanakan pada saat berkumpul bersama teman-temannya, menjadi dewasa luar biasa ketika dipercaya menjadi Wakil Ketua OSIS. Ainun yang menangis berkali-kali karena proposal-proposalnya dicoret-coret Pak Pur karena salah, toh tetap terus membuat ulang proposal-proposalnya walaupun semalaman ia tidak tidur untuk mengerjakan proposal itu. Ataupun Jessica yang menjadi apa adanya dalam keadaan ada apanya sekalipun. Mereka semua menerima hidup mereka dan bersyukur atas apa yang mereka dapatkan.
Saya belajar dari mereka dan inilah yang tidak pernah diajarkan oleh sekolah. Saya terlalu lama hidup di dalam kebencian atas hal-hal yang tidak saya inginkan: saya membenci bersekolah di sekolah yang orang tua saya inginkan, membenci teman-teman saya yang hidup lebih baik, bahkan membenci takdir-takdir Tuhan untuk saya. Membenci membuat saya marah dan frustasi. Membenci juga membuat saya mengutuk, mencaci dan tidak ingin tahu apa yang terjadi. Pada akhirnya ketidaktahuan membuat saya merasa bodoh, dan percayalah, bahkan orang bodoh pun tidak suka merasa bodoh.
Saya mengalami benar kalimat terakhir dari paragraf di atas. Menjadi bodoh berarti harus menjadi orang terakhir yang dipercaya guru untuk mengikuti seleksi lomba dan kadang tidak diikutkan karena anggarannya lebih digunakan untuk orang-orang yang lebih pintar daripada saya. Menjadi bodoh menyempitkan pergaulan saya. Dahulu, ada peribahasa yang mengatakan bahwa bergaullah dengan tukang parfum maka anda akan berbau parfum dan akibatnya teman-teman yang merasa lebih pintar dari saya lebih memilih bergaul dengan orang-orang pintar lainnya karena ingin tertular pintar daripada bergaul dengan saya, takut akan membawa pengaruh negatif bagi mereka katanya. Andai mereka tahu, bahwa bodoh bukanlah penyakit dan tidak akan menulari mereka.
Akhirnya karena bosan menjadi orang bodoh dan mempunyai teman-teman OSIS yang pantang menyerah, saya mulai berubah. Pencapaian. Itulah kuncinya. Saya mulai memetakan tujuan hidup dan mencapainya satu per satu.
Saya berjuang untuk memperbaiki masa SMA saya. Saya belajar giat hingga malam buta demi perbaikan nilai-nilai saya, saya ikuti semua kompetisi yang bisa saya ikuti, saya memberanikan diri untuk menjadi calon Ketua OSIS. Tidak peduli berapa banyak orang yang menghina, merendahkan, dan tidak melihat perjuangan saya. Saya tidak akan menyerah.
I know who i am. I am not what they say.” Kata-kata itulah yang selalu saya katakan ketika keadaan tidak menyenangkan bagi saya.
Sedikit demi sedikit, pencapaian yang saya lakukan menambah kepercayaan diri saya. Kegagalan adalah teman setia saya dalam proses pencapaian tersebut. Yah, saya memang seringkali gagal tapi saya terlalu ingin sukses, untuk membiarkan ketakutan membuat saya gagal sehingga saya terus berusaha. Dulu, saya begitu takut gagal karena takut dibilang bodoh (lagi). ‘Daripada keliatan jelek mendingan gak usah dilakuin. Daripada hasilnya enggak maksimal mendingan kerjain yang lain. Daripada sakit mendingan hindarin. Daripada ... mendingan ...’  selalu ada kata-kata yang dapat saya padankan untuk mengisi kalimat tersebut yang akhirnya selalu membuat saya batal untuk maju pada zaman saya SMA. Saya menyerah sebelum memulai. Padahal kalau dipikir-pikir, gagal itu apa sih? Cuma sebuah keadaan dimana manusia terbentur oleh kekurangannya dan dihadapkan pada dua pilihan: berhenti atau coba lagi. Tapi  karena cap bodoh yang begitu melekat pada saya akhirnya saya memilih untuk berhenti.
Kini, saya tidak khawatir disebut bodoh, karena saya tahu persis saya tidak bodoh dan Tuhan terlalu baik sehingga tidak mungkin Ia memberikan kebodohan pada umat-Nya. Orang bisa berkata apapun tentang saya, dan saya tidak akan tersinggung. Saya menganggap bahwa kritik dari mereka adalah pembangun untuk saya.
Saya juga tidak mau menjadi orang bodoh lagi karena menjadi bodoh itu susah. Butuh banyak pengorbanan dan ketika saya mulai takut mencoba sesuatu maka saya mengingat kalimat di bawah ini;
“Kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua”

Semoga bermanfaat
     ~Fraudulent.